REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit membawa angin segar bagi sektor perdagangan Indonesia. Terutama, menurut Hipmi, angin segar bagi komoditi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia.
Ketua Umum BPP Hipmi Mardhani H Maming dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (7/2), menilai Inggris memiliki kebijakan yang berbeda soal sawit dibandingkan dengan Uni Eropa. "Tentu kalau kita lihat, Inggris punya pandangan yang berbeda atas CPO kita. Kebijakan mereka terhadap sawit relatif moderat. Mereka lebih menghormati komoditas sawit sebagai salah satu daya saing perekonomian kita," katanya.
Tak hanya soal sawit, Brexit juga dinilai Maming membuka peluang bagi Indonesia lebih percaya diri dalam melakukan lobi-lobi terkait diskriminasi perdagangan di komoditas lainnya misalnya masalah penyetopan ekspor nikel. Maming mengatakan, dengan Brexit, Inggris tak lagi tunduk kepada aturan-aturan yang diterapkan oleh Uni Eropa.
Ia berharap daya tekan Uni Eropa soal isu sawit dan komoditas lainnya semakin melemah. Indonesia, kemudian diharapkan bisa memanfaatkan pengaruh Inggris dan sekutunya yang masih tersisa di Uni Eropa untuk mendorong lobi-lobi melawan diskriminasi sawit.
Seperti diketahui, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah berselisih dengan UE terkait CPO. Negara-negara Eropa menganggap pertanian kelapa sawit di Indonesia merusak lingkungan sehingga mereka menerapkan aturan untuk mengurangi penggunaan kelapa sawit. Hal itu diyakini mengancam industri kelapa sawit Indonesia.
Konflik antara Indonesia dan UE tentang CPO memuncak Maret 2019 lalu. Saat itu, UE membuat Renewable Energi Directive (RED) II yang mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam komoditas yang memiliki "indirect land use change" (ILUC) berisiko tinggi.
Akibat dari peraturan tersebut, biodiesel yang berbahan dasar minyak sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE.
Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss akhirnya resmi mengajukan gugatan terhadap UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 9 Desember 2019.