REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan Non Tariff Measures (NTM) atau hambatan non tarif dalam perdagangan memengaruhi tingginya harga pangan. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mendefinisikan kebijakan NTM sebagai berbagai bentuk kebijakan selain tarif bea cukai yang memengaruhi perdagangan internasional di perbatasan dengan mengubah jumlah yang diperdagangkan, harga atau keduanya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, berbagai bentuk kebijakan NTM antara lain adalah kuota, lisensi, peraturan dan persyaratan label, kontrol harga dan tindakan anti persaingan.
Keberadaan NTM dianggap sebagai pengganti tarif karena tarif telah semakin diliberalisasi melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO. Saat pengenaan tarif menjadi kebijakan yang tidak terlalu populer, berbagai negara justru mengimplementasikan kebijakan NTM ini.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan banyak kebijakan NTM, salah satunya pada perdagangan pangan. Penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena memengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi," katanya dalam siaran pers, Kamis (23/1).
Ia menerangkan, beberapa NTM diperlukan untuk melindungi konsumen. Namun banyak NTM diterapkan untuk menjadi hambatan dalam perdagangan. Padahal, NTM yang menghambat perdagangan pada akhirnya bisa berkontribusi pada munculnya angka malnutrisi.
Rentannya ketahanan pangan Indonesia sendiri dapat dilihat dari berbagai laporan. Misalnya, Indeks Keamanan Pangan Global 2019 yang diterbitkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 113 negara.
Posisi ini mengalami perbaikan dari tahun 2015 yang berada di peningkatan dari peringkat ke-76. Indonesia juga masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 28), Thailand (52), dan Vietnam (54).
Indonesia, kata dia, juga gagal dalam kategori keterjangkauan pangan karena hanya menduduki peringkat ke 58. Sebab, konsumsi makanan tercatat masih mengambil bagian besar dari pengeluaran rumah tangga.
Adapun kategori kualitas dan keamanan pangan menduduki peringkat ke-84 karena rendahnya diversifikasi makanan dan ketersediaan beragam nutrisi di dalam makanan.
Analisis lain dari Global Hunger Index pada tahun 2019 menempatkan Indonesia di urutan ke-70 dari 117 negara. Peringkat ini menempat ini Indonesia di dalam kategori kelaparan "serius". Indonesia juga kembali tertinggal dari Malaysia (57) dan Vietnam (62).
Ia menerangkan, hasil penelitian terbaru CIPS menunjukkan pengaruh dari implementasi kebijakan NTM terhadap komoditas pangan yang memiliki relevansi tinggi terhadap masyarakat Indonesia, yaitu beras, gula, jagung, daging sapi dan bawang putih.
Felippa menjelaskan, komoditas ini dipilih berdasarkan kepentingannya dalam konsumsi rumah tangga saat ini dan di masa depan, keterjangkauannya, prevalensi impor,dan prevalensi NTM.
"Akibat berbagai bentuk hambatan non tarif yang diterapkan pada komoditas-komoditas tersebut, harga domestik secara konsisten selalu lebih tinggi daripada harga internasional. Tentu hal ini sangat merugikan rakyat sebagai konsumen karena seharusnya mereka bisa mengakses komoditas tersebut dengan harga yang lebih terjangkau,” tandasnya.
Antara tahun 2015 dan 2018, jumlah kebijakan NTM di Indonesia meningkat hampir 14 persen dari 169 di 2015 menjadi 192 di 2018. Berbagai kebijakan NTM ini berasal dari 13 lembaga pemerintah berbeda.
Kementerian Perdagangan merupakan kontributor terbesar dalam terbitnya berbagai kebijakan NTM (28,6 persen), diikuti oleh Kementerian Perindustrian (27,4 persen) dan Kementerian Pertanian (19,9 persen). Kementerian Pertanian bahkan menambahkan kebijakan NTM sebesar 47 persen antara 2015 dan 2018 dari 132 menjadi 194.