REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian kembali meminta perusahaan pembibitan ayam untuk mengendalikan populasi anak ayam usia sehari (day old chicken/DOC) final stock. Pengendalian populasi itu salah satunya ditempuh dengan mengurangi produksi bibit ayam sebanyak 13 juta butir telur tetas (hatched egg/HE) per minggu.
Direktur Perbibitan dan Produksi, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Sugiono mengatakan bahwa pengurangan bibit ayam di perusahaan pembibitan sebanyak 13 juta per minggu telah dilakukan mulai tanggal 2 hingga 21 Januari.
Pengurangan produksi bibit ayam dilakukan dengan cara penarikan telur tetas usia 19 hari dari mesin penetas (hatcher).
Sugiono menerangkan, selama proses pengurangan produksi bibit ayam 19 hari terakhir, telah berdampak langsung pada pengurangan DOC bulan Februari sebanyak 37,05 juta ekor.
"Cutting (pengurangan) bibit ayam dilanjutkan sampai akhir Januari," kata Sugiono kepada Republika.co.id, Selasa (21/1).
Dengan kata lain, jika 13 juta bibit ayam dikurangi per minggu, maka setara dengan 52 juta bibit ayam dan berdampak pada pengurangan DOC pada Februari mendatang dengan jumlah yang sama.
Sugiono menambahkan, secara bersamaan juga dilakukan penundaan setting telur tetas sebanyak 15 juta butir per minggu. Pelaksanaan tersebut sebagai alokasi corporate social responsibility (CSR) perusahaan pembibitan untuk masyarakat di lokasi terdampak bencana. Saat ini, baru terealisasi sekitar 600 ribu butir.
Dari sisi hulu, pengungaran DOC final stock juga dilakukan dengan cara afkir dini seluruh populasi ayam berusia 55 minggu ke atas atau parent stock. Pelaksanaan afkir itu akan dimulai tanggal 24 Januari - 7 Februari 2020. Teknis afkir dini itu dilakukan dengan parent stock jantan dan cadangannya diafkir terlebih lebih awal dan diikuti dengan parent stock betina.
"Pengurangan DOC final stock merupakan upaya Kementan untuk menjaga keseimbangan antara penyediaan ayam ras terhadap kebutuhannya di pasar," ujarnya.
Selain dengan meminta perusahaan pembibitan melakukan pengurangan bibit ayam dan afkir dini parent stock, Kementan juga mendorong perusahaan terintegrasi perunggasan untuk mengoptimalkan pemotongan ayam di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) masing-masing dan menyimpannya di gudang pendingin.
"Hal ini secara langsung akan mengurangi peredaran ayam hidup (liverbird) siap potong di pasar becek dan berpengaruh terhadap stabilisasi harga ayam," katanya.
Sebagaimana diketahui, harga ayam di tingkat peternak mengalami kejatuhan selama 17 bulan terakhir. Rata-rata harga ayam di tingkat peternak berkisar antara Rp 14.500 - Rp 16.000 per kg, jauh di bawah harga acuan pemerintah sebesar Rp 18.000 - Rp 20.000 per kg.
Para peternak mengeluhkan rendahnya harga ayam yang tak kunjung membaik dan berdampak pada kerugian yang besar. Para peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nusantara (PPRN) juga telah berkali-kali menggelar aksi demo kepada pemerintah.
Menurut PPRN, rendahnya harga ayam selama lebih dari setahun terakhir akibat adanya over suplai ayam di Indonesia. Sebab, selain ayam diproduksi oleh peternak rakyat, juga diproduksi oleh perusahaan pembibitan maupun perusahaan terintegrasi.