Ahad 19 Jan 2020 08:35 WIB

Omnibus Law Ancam Perburuk Neraca Perdagangan

Kegiatan ekspor dan impor berpotensi lebih longgar dengan omnibus law.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nur Aini
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam mengimplementasikan penyederhanaan perizinan berusaha sebagai fokus omnibus law. Kebijakan itu berpotensi memperburuk neraca perdagangan Indonesia apabila tidak terkontrol.

Andry menjelaskan, dengan penyederhanaan perizinan berusaha, kegiatan ekspor dan impor akan berpotensi menjadi lebih longgar. Hal itu diakuinya memang mampu mendorong frekuensi perdagangan, tetapi akan menjadi tidak terkontrol dan perdagangan tidak berkualitas karena beberapa perizinan dapat dihapus.

Baca Juga

“Ini perlu diwaspadai karena bisa jadi efek omnibus law justru meningkatkan defisit perdagangan kita ke depan,” ucapnya saat dikonfirmasi Republika.co.id, Ahad (19/1).

Andry menekankan, defisit neraca dagang masih belum membaik selama dua tahun terakhir. Padahal, berdasarkan degree of openess, Indonesia belum menjadi negara perdagangan bebas. Berdasarkan data yang disampaikan Andry, persentase degree of openess terhadap PDB semakin rendah dari 47,7 persen pada periode 2011-2015 menjadi 39,9 persen pada 2016-2018.

Andry mengatakan, di saat model kerja sama perdagangan di berbagai dunia mulai mengarah pada restriksi perdagangan karena isu kedaulatan ekonomi, jangan sampai Indonesia malah terlena dengan omnibus law. "Dalam hal ini dengan memberikan karpet merah terhadap skema perdagangan yang tidak berkualitas," katanya.

Restriksi tidak hanya melindungi produk dalam negeri, juga melindungi konsumen dalam negeri. Andry menyebutkan, salah satu yang perlu didukung adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai non-tariff measures yang bisa diandalkan.

Saat ini, masih banyak produk dalam negeri yang belum memenuhi SNI. "Alhasil, produk-produk impor mudah untuk leluasa masuk dan langsung head-to-head dengan produk kita," tutur Andry.

Permasalahannya, dari segi kualitas, produk impor justru memiliki kualitas rendah. Dampaknya, konsumen menjadi pihak paling dirugikan akibat hal tidak tersedianya SNI sebagai standar pada produk yang masuk ke Indonesia. Andry menuturkan, omnibus law tentu perlu mengakomodasi kepentingan konsumen karena hal itu menjadi ruh bagi Undang-Undang Perdagangan saat ini.

Pemerintah menargetkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) rampung pada Ahad (19/1) bersama dengan naskah akademik. Dengan begitu, Senin (20/1) dapat resmi dirilis untuk kemudian dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 melalui Sidang Paripurna pada Selasa (21/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement