Sabtu 18 Jan 2020 15:20 WIB

Serikat Pekerja Ramai-Ramai Tolak RUU Omnibus Law

Serikat nilai ada aksi dominan korporasi dan mereduksi hak pekerja dalam Omnibus Law

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pengunjuk rasa dari sejumlah organisasi buruh melakukan aksi damai menolak Omnibus Law

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para serikat pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kebijakan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang tengah diproses oleh pemerintah. Serikat menilai, kebijakan tersebut bukan untuk melindungi dan memperbaiki nasib pekerja namun justru melakukan degradasi terhadap perlindungan tenaga kerja.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan, berdasarkan berbagai pernyataan pemerintah yang disampaikan ke publik, omnibus law cenderung akan memperlemah kondisi tenaga kerja. Salah satu yang disoroti mengenai sistem kerja fleksibel yang menimbulkan ketidakejelasan terhadap status seorang pekerja.

Baca Juga

"Status hubungan kerja seolah dipermudah dan tidak jelas. Padahal, di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 itu sudah jelas. Ada pekerja tetap dan kontrak. Fleksibel ini menimbulkan ketidakpastian," kata Riden dalam Konferensi Pers di Jakarta, Sabtu (18/1).

Hal lain yang disoroti serikat pekerja yakni mengenai upah kerja per jam. Ia menilai, sistem itu menimbulkan ketidakjelasan mengenau jaminan kesehatan, jaminan hari tua, serta jaminan hak-hak pekerja yang seharusnya diperoleh. Belum lagi, jika seorang pekerja ternyata ada yang tidak bisa bekerja bukan atas kemauannya. Terutama bagi ibu melahirkan yang harus mengambil cuti.

Riden mengatakan, pemberian pesangon yang seharusnya diberikan kepada pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di suatu perusahaan juga diubah menjadi kompensasi."Kompensasinya disebut setara dengan tunjangan gaji enam bulan. Bagaimana dengan mereka yang sudah bekerja 20 atau 30 tahun dan terkena PHK? Pesangon yang seharusnya senilai 32 bulan gaji itu akan hilang," katanya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pekerja Indonesia (Aspek) Sabda Pranawa Djati menyoroti soal keterlibatan serikat pekerja dalam proses perancangan RUU Omnibus Law. Ia mengaku, serikat pekerja tidak pernah dilibatkan, sedangkan para pengusaha justru dilibatkan dengan menjadi Satgas Omnibus Law.

Ia menduga, ada aksi korporasi yang dominan dan ingin mereduksi hak-hak tenaga kerja di Indonesia yang sudah berlaku. "Ini klimaks, kalau kita tidak melawan, pasti akan makin sulit ke depannya. Kita menduga ini ada kepentingan pengusaha," tuturnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Pekerja Penerbitan, Percetakan, dan Multi Indonesia (FPPMI), Ferry Yunizar menambahkan, dari hasil kajian yang dilakukan telah disimpulkan bahwa RUU Omnibus Law lebih banyak merugikan hak-hak pekerja di Indonesia. Karena itu, FPPMI secara tegas menolak RUU Omnibus Law demi mempertahankan kesejahteraan pekerja ke depannya.

Ferry mengatakan, FPPMI juga akan membawa isu kesejahteraan para jurnalis di Indonesia. "Kami sadar banyak jurnalis yang sebenarnya masih jauh dari sejahtera. Makanya kami juga akan membawa isu ini," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement