REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini industri asuransi tengah menjadi sorotan publik. Hal ini tidak terlepas dari beberapa masalah pada industri tersebut.
Pada tahun ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali melakukan penguatan reformasi industri asuransi. Penguatan ini sudah diinisiasi oleh regulator sejak 2018 lalu.
Menanggapi rencana tersebut, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mendukung langkah regulator memperkuat reformasi industri asuransi. Sebab, di dalam reformasi industri asuransi akan memperketat pengawasan manajemen risiko industri asuransi.
“Sangat baik bila OJK bisa membantu perusahaan asuransi. Meskipun terus terang kami belum jelas dan clear mengenai maksud dari reformasi ini,” ujar Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (17/1).
AAJI pun mengusulkan beberapa poin agar reformasi asuransi yang dilakukan OJK dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran, diantaranya pertama adanya program Insurance Technology (Insurtech). Kedua, melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran berasuransi.
Ketiga, melakukan pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP). Keempat melakukan penundaan Implementasi International Financial Reporting Standard (IFRS) 17.
Kelima, melakukan perlindungan konsumen asuransi agar mengacu ke Peraturan OJK (POJK) Perlindungan Konsumen, agar UU Perlindungan Konsumen mengecualikan industri jasa keuangan. Keenam, OJK juga harus mengatur porsi kepemilikan asing dengan maksimal 100 persen.
Ketujuh melakukan Coordination of Benefit BPJS Kesehatan. Kedelapan, melakukan penundaan Spin Off Asuransi Syariah. Kesembilan merevisi UU Dana Pensiun dan terakhir mengatur perpajakan industri asuransi.
Adapun aturan perpajakan tersebut pertama mencakup biaya joint cost, yang terkait dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak final, dikoreksi secara secara prorata atas seluruh biaya perusahaan.
Kemudian Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 97 Tahun 2011 (SE-97) terkait koreksi pajak atas Cadangan Premi yang dibentuk atas penghasilan investasi yang telah dikenakan pajak final. Aturan perpajakan lainnya adalah pemeriksa pajak menerapkan PPh Badan atas Surplus Underwriting dana Tabarru.
Selanjutnya pembayaran ujroh dana tabarrru oleh Pemeriksa Pajak dikenakan PPn 10 persen. Kemudian harmonisasi pajak terhadap investasi karena adanya perbedaan perlakuan antara pajak obligasi untuk perusahaan asuransi sebesar 15 persen dengan pajak reksadana sebesar lima persen dan keenam pemberian insentif pajak bagi pemegang polis.
Sepanjang 2019 beberapa isu industri asuransi mencuat. Mulai dari gagal bayar PT Jiwasraya (Persero), kesulitan likuiditas PT Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Hingga akhir tahun ada indikasi penurusan investasi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero).