REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Bank Indonesia (BI) menegaskan gencarnya sistem pembayaran berbasis digital seperti QRIS tidak akan sampai memberhentikan peredaran uang logam dan kertas dalam bertransaksi di Indonesia. Direktur Eksekutif Departemen Penyelenggara Sistem Pembayaran (DPSP) BI Pungky Purnomo Wibowo mengatakan hal tersebut terjadi karena transaksi nontunai belum dapat menjangkau hingga seluruh lapisan masyarakat.
“Lokasi geografis kita kan juga berbeda dan tergantung dengan infrastrukturnya, jadi uang logam dan kertas harus tetap ada dan bertumbuh,” katanya di Makassar, Sabtu (11/1).
Ia mengatakan, tidak semua orang memiliki telepon genggam. Sehingga, peredaran uang tetap terjadi. Namun, dengan maraknya transaksi pembayaran menggunakan QR Code seperti QRIS dampak yang akan terjadi adalah menurunnya pertumbuhan peredaran uang.
"Uang itu tetap ada dan bertumbuh tapi tumbuhnya pelan banget,” ujarnya.
Sebagai informasi, Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) yang diluncurkan oleh BI pada 1 Agustus 2019 hingga kini telah menyasar 1,7 juta pedagang (gerai). QRIS tersebut merupakan pemersatu QR code yang akan dipindai oleh perangkat elektronik untuk alat pembayaran seperti Gopay, OVO, Linkaja dan DANA.
QRIS mempunyai dua model yakni berbasis customer presented model (CPM) yaitu merupakan sistem pembayaran yang transaksinya dilakukan oleh pembeli dengan menunjukkan QRIS nya kepada pedaaang (gerai/merchant). Selanjutnya, QRIS berbasis merchant presented mode (MPM) yang sistem penggunaannya yaitu merchant menunjukkan QRIS kepada pembeli saat bertransaksi.
Bank Indonesia menargetkan 15 juta gerai (merchant) untuk menggunakan QRIS pada 2020. Secara keseluruhan, QRIS akan menyasar lima persen dari total UMKM di Indonesia yang sekitar 60 juta.