REPUBLIKA.CO.ID, PROVIDENCE -- Acuan global untuk harga minyak mentah naik di atas 70 dolar AS per barel pada Senin (6/1) untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan terakhir. Kenaikan harga minyak global ini dipengaruhi oleh peningkatan ketegangan militer antara Iran dan Amerika Serikat.
Minyak Brent menyentuh level tertinggi 70,74 dolar AS per barel, tertinggi sejak pertengahan September, ketika sempat melonjak karena serangan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah Saudi. Pasar saham turun juga di tengah kekhawatiran tentang bagaimana Iran akan memenuhi janji pembalasan yang keras.
"Pasar khawatir tentang potensi pembalasan, dan khususnya pada infrastruktur energi dan minyak di wilayah ini," kata Antoine Halff, seorang peneliti Universitas Columbia dan mantan kepala analis minyak untuk Badan Energi Internasional.
"Jika Iran memilih untuk melumpuhkan fasilitas utama di kawasan itu, ia memiliki kapasitas teknis untuk melakukannya," tambahnya dilansir di AP, Selasa (7/1).
Namun, banyak analis mengatakan mereka melihat sedikit alasan untuk khawatir tentang kerugian pada ekonomi AS akibat lonjakan harga minyak. Beberapa orang mencatat bahwa harga energi yang lebih tinggi sebenarnya dapat menguntungkan ekonomi secara keseluruhan karena AS sekarang adalah pengekspor produk-produk minyak bumi.
Selain itu, komitmen bank sentral AS Federal Reserve terhadap suku bunga rendah berarti The Fed tidak mungkin menaikkan suku bunga dalam waktu dekat untuk melawan dampak inflasi dari harga minyak yang lebih tinggi.
Namun para ekonom memperingatkan bahwa peningkatan dalam konfrontasi pemerintahan Trump dengan Iran dapat menimbulkan risiko baru bagi ekonomi dalam jangka panjang.
AS membunuh Jenderal Iran Qassem Soleimani di Irak pada Jumat (3/1). Pada Ahad (5/1) pagi, ketika Iran mengancam akan membalas, Presiden Donald Trump mencuit bahwa AS siap untuk menyerang 52 situs di negara itu jika ada orang Amerika yang dirugikan.
Kekhawatiran bahwa Iran dapat menyerang kembali fasilitas minyak dan gas yang penting bagi AS dan sekutu Teluk Persia berasal dari serangan sebelumnya yang secara luas dikaitkan dengan Iran.
AS telah menyalahkan Iran atas gelombang serangan provokatif di wilayah tersebut, termasuk sabotase kapal tanker minyak dan serangan terhadap infrastruktur minyak Arab Saudi pada bulan September yang sementara mengurangi separuh produksinya. Iran membantah terlibat dalam serangan itu.
"Menargetkan infrastruktur minyak dapat menaikkan harga dan membawa kesulitan ekonomi dunia dan menempatkan Iran di posisi terdepan, yang mungkin merupakan jenis pesan yang ingin dikirim oleh para pemimpinnya," kata Jim Krane, seorang peneliti energi dan geopolitik di Rice University.
Para analis mencatat bahwa rumah tangga Amerika mencurahkan sebagian kecil dari pengeluaran mereka untuk tagihan energi daripada di masa lalu. Itu berbeda dengan periode sebelumnya, ketika lonjakan harga minyak sering melebihi resesi.