Ahad 22 Dec 2019 11:02 WIB

Proyek Kilang Tuban, Presiden Ultimatum Pertamina

Tuntas paling lambat 2023, proyek kilang Tuban masih terganjal masalah lahan.

Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN Erick Thohir, Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dan Komut Pertamina Basuki Tjahaja Purnama, usai meninjau kilang TPPI di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12).
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN Erick Thohir, Dirut Pertamina Nicke Widyawati, dan Komut Pertamina Basuki Tjahaja Purnama, usai meninjau kilang TPPI di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12).

REPUBLIKA.CO.ID, TUBAN -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan ultimatum kepada Pertamina untuk merampungkan proyek kilang Tuban di Jawa Timur. Jokowi meminta agar proyek tersebut tuntas paling lambat pada 2023 mendatang.

"Saya sampaikan agar tidak lebih dari tiga tahun harus rampung semuanya. Mintanya tadi empat tahun, tapi tiga tahun harus rampung semuanya," kata Jokowi seusai berkeliling area kilang eksisting TPPI yang sahamnya mayoritas dimiliki Pertamina, Sabtu (21/12).

Baca Juga

Hingga saat ini, menurut Jokowi, proyek kilang Tuban belum bisa terealisasi karena terganjal masalah lahan. "Saya dapat informasi masih menyelesaikan persoalan lahan. Ini juga sudah saya beri batasan waktu, tidak bisa lebih dari tiga bulan dari sekarang. Kalau sanggup, ya, sanggup. Kalau enggak sanggup, ngomong," ujar Jokowi.

Dikutip dari Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), kilang minyak Tuban adalah proyek pembangunan kilang minyak baru dengan kapasitas produksi 300 ribu barel per hari yang akan dibangun di Tuban, Jawa Timur. Perencanaan pembangunan Kilang Minyak Tuban akan menggunakan konfigurasi petrokimia yang terintegrasi dengan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama.

Proyek kilang Tuban yang ditugaskan kepada Pertamina dengan investor swasta Rosneft ini diharapkan dapat menekan impor petrokimia sebagai bahan baku industri. Ditargetkan, produksi dari kilang Tuban bisa menghemat devisa hingga Rp 56 triliun.

Dalam beberapa kali kesempatan, Jokowi memang sempat menyampaikan kekesalannya karena lambannya pembangunan kilang minyak. Padahal, menurut dia, kilang merupakan satu solusi untuk menekan angka impor dan memperkecil defisit neraca perdagangan.

"Saya sampaikan, sebetulnya habis p lantikan yang pertama saya sampaikan, saya minta kilang ini segera dibangun. Tapi, sampai detik ini, dari lima yang ingin kita kerjakan, satu pun enggak ada yang berjalan. Satu pun," kata Jokowi saat membuka Musrenbangnas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12).

Presiden mengatakan, pembangunan kilang minyak akan menekan impor minyak yang selama ini dilakukan. Bahkan, dengan adanya kilang minyak juga akan memberikan banyak hasil turunan, seperti petrokimia. Pemerintah mencatat, selama ini Indonesia mengimpor petrokimia dengan jumlah besar, yakni mencapai Rp 323 triliun per tahun.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyampaikan, peluang pasar bisnis petrokimia di Indonesia sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun. Selain itu, bisnis petrokimia mempunyai margin lebih tinggi daripada BBM. "Pembangunan kompleks industri petrokimia akan lebih menjamin keberlanjutan bisnis perseroan," ujar Nicke.

Pembangunan industri petrokimia, lanjut Nicke, juga akan lebih efisien karena diintegrasikan dengan kilang sehingga produk samping petrokimia dapat dimanfaatkan kembali oleh kilang baik untuk bahan bakar kilang itu sendiri maupun dapat menjadi produk BBM.

Butuh waktu

Pertamina sendiri sudah melakukan berbagai tahapan pembangunan sejumlah kilang. Beberapa di antaranya dinilai cepat perkembangannya karena melebihi target waktu. "Kemajuannya memang cukup berarti," kata Direktur Energy Watch Mamit Setiawan.

Mamit mengakui, progres kilang Balongan termasuk cepat dibandingkan target semula karena bisa menghemat wak tu satu tahun. Jika umumnya setelah penawaran front-end engineering design(FEED) butuh dua tahun sebelum masuk proses engineering, procure ment and constructions (EPC), tetapi Pertamina bisa lebih cepat. Begitu pula dengan kilang Balikpapan.

Sementara, untuk kilang Tuban, Mamit juga melihat adanya perkembang an yang sangat krusial, yaitu penjajak an kemitraan dengan Rosneft. Padahal, salah satu tahapan awal yang paling sulit adalah pencarian mitra itu sendiri.

"Pencarian partnershiptersebut memang tidak mudah. Sebab, masing-masing pihak memiliki feasibilities study. Misal terkait nilai keekonomian dan nilai proyek, masing-masing memiliki pandangan berbeda. Jadi, untuk Tuban, tinggal menunggu realisasinya dalam bentuk apa. Tetapi, minimal bisa engineering-nya dulu," katanya.

Menurut dia, pembangunan kilang memang tidak bisa seketika karena perlu berbagai tahapan yang mem butuhkan proses waktu yang cukup lama. Bahkan, untuk mencari partner membutuhkan waktu mencapai 2-3 tahun. "Ten tu saja banyak tahapan dilalui. Akan ngeborsaja banyak tahapannya, apalagi proyek strategis seperti ini,ujarnya. (sap to andika candra/antara ed: endah hapsari)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement