REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memprediksi, posisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai akhir tahun akan berada di tingkat 2,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini merupakan batasan atas proyeksi terbaru Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yaitu 2,0 sampai 2,2 persen.
Tapi, sudah melampaui batas defisit pada Undang-Undang APBN 2019 yang hanya 1,84 persen. Berdasarkan catatan Kemenkeu, defisit APBN per akhir November telah menyentuh 2,29 persen atau Rp 368,9 triliun. Angka ini kemudian menurun menjadi 2,21 persen pada 13 Desember.
Melihat tren ini, Sri memproyeksikan, tingkat defisit APBN tidak akan mencapai 2,3 persen. "Arahnya tidak mendekati ke 2,3 persen, justru ke 2,2 persen. Ini hal penting," tutur Sri dalam konferensi pers pemaparan Kinerja dan Fakta APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (19/12).
Penurunan defisit dari November ke pertengahan Desember ini dikarenakan adanya kenaikan penerimaan pendapatan dan optimalisasi belanja. Pendapatan negara tercatat tumbuh 0,9 persen pada akhir November (yoy), di tengah tekanan eksternal pada perekonomian domestik. Per 13 Desember, pertumbuhan pendapatan tersebut meningkat menjadi 1,6 persen (yoy) karena perbaikan kondisi sektor riil.
Di sisi lain, Sri menambahkan, belanja negara mampu tumbuh 5,3 persen (yoy). Hal ini didukung dengan peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tumbuh mencapai 5,0 persen (yoy), di atas pertumbuhan 2018 yang hanya 2,5 persen.
Sri mengakui, menjaga stabilitas perekonomian pada 2019 tidak mudah. Perekonomian global terus menghadapi ketidakpastian dengan berbagai kebijakan yang menciptakan pengaruh terhadap perlemahan ekonomi. Terbaru, kondisi politik Amerika Serikat (AS) mengalami dinamika dengan keputusan House of Representatives (DPR) memakzulkan Presiden AS Donald Trump.
Dinamika di tingkat global ini akan memberikan pengaruh terhadap pengambilan keputusan para pelaku ekonomi, baik perusahaan ataupun konsumen. Konsumen akan menahan konsumsi mereka dan mencadangkan lebih banyak uang karena tidak yakin terhadap perbaikan kondisi ekoomi. "Dari sisi pengusaha pun akan menahan investasi karena tidak yakin apakah ekonomi membaik," ujar Sri.
Keputusan menahan tersebut yang memperlemah ekonomi. Pada 2019, Sri mencatat, hampir tiap negara mengalami dampaknya. Entah itu secara langsung melalui kegiatan ekspor dan impor, maupun tidak langsung melalui konsumsi ke dalam rumah tangga dan investasi. Indonesia sudah terdampak dengan penurunan bea masuk maupun bea keluar yang menjadi gambaran penurunan kinerja ekspor dan impor.
Pengaruh ini juga sudah terlihat dari kinerja manufaktur banyak negara. Sri menuturkan, AS Purchasing Manufactur Index (PMI) Amerika sudah berada di bawah 50 yang menunjukkan kontraksi. Pun dengan Jerman yang sejak awal tahun di bawah 50.
Indonesia sudah menunjukkan penurunan di bawah 50 pada kuartal terakhir. "Ini sesuatu yang harus diwaspadai," katanya.