Jumat 13 Dec 2019 03:31 WIB

Pemerintah Diminta Waspada Soal Ketahanan Pangan

Perubahan kebijakan pemerintah menyebebkan disposal cadangan beras pemerintah.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Friska Yolanda
Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Perum Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (5/12/2019).
Foto: Antara/Galih Pradipta
Pekerja mengangkut karung berisi beras di Gudang Perum Bulog Divre DKI Jakarta dan Banten, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (5/12/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pertanian Khudori mengatakan disposal cadangan beras pemerintah (CBP) dapat terjadi sewaktu-waktu jika tidak segera dicarikan solusi. Salah satu penyebab terjadinya disposal adalah perubahan kebijakan subsidi pangan.

"Sayangnya, para pemangku kebijakan seperti tidak bisa membaca potensi bom waktu itu. Barangkali ini salah satu risiko awal-awal transisi kepemimpinan," ujar Khudori saat diskusi bertema "Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) dan Efektivitas Stabilisasi Harga Pangan" di RRI Stasiun Pusat Jakarta Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (12/12).

Khudori menyebut perubahan kebijakan subsidi pangan dari beras sejahtera (Rastra) yang sebelumnya bernama beras untuk rakyat miskin (Raskin) menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) menjadi sumber masalah. Perubahan ini membuat kebijakan perberasan yang semula terintegrasi hulu-tengah-hilir menjadi terfragmentasi.

"Ini karena pada BPNT tidak ada keharusan (mandatory) kehadiran Bulog di level hilir," lanjutnya.

Akibatnya, dia katakan, kebijakan perberasan bukan saja menjadi tak utuh lagi, tetapi juga membuat Bulog kehilangan pasar tertawan (captive market) yang amat besar yakni 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) Rastra. Khudori menyampaikan seiring perubahan itu, penyaluran beras Bulog di hilir berkurang drastis dari rata-rata 2,825 juta ton periode 2014-2017 hanya tinggal 350-an ribu ton atau 12 persen pada 2019.

"Tahun depan penyaluran beras untuk BPNT pasti lebih kecil lagi. Hanya menyisakan daerah 3T, tertinggal, terisolasi, dan terluar," ucapnya.

Khudori memperkirakan beras Bulog yang menumpuk di gudang saat ini mencapai 2,3 juta ton, di mana 1,175 juta di antaranya dari penyerapan domestik. Ia mengatakan beras merupakan produk tidak lahan lama dan diprediksi disposal beras akan selalu terjadi. Khudori menilai tanpa outlet penyaluran yang pasti, menugaskan Bulog menyerap gabah atau beras petani bisa dipastikan bakal membuat BUMN ini pelan-pelan bangkrut.

"Tanda-tanda kebangkrutan itu mulai terlihat, Z-score Bulog 0,93 atau berada pada zona distress alias lampu merah, di bawah batas aman 1,3," kata dia.

Khudori menilai manajemen Bulog sepertinya telah memperkirakan perubahan ini bakal berdampak buruk. Sejak 2017 atau tepat BPNT dimulai, ada indikasi Bulog mengerem pengadaan beras domestik. 

Khudori melihat dari stok awal 2018 yang hanya 800 ribu ton beras, stok awal tahun terkecil dalam satu dekade terakhir yang berkisar 1,3-1,5 juta ton. Penyerapan beras domestik pada 2018 juga cuma 1,48 juta ton, menurun drastis dari periode 2014-2016 yang mencapai 2,67 juta ton.

"Karena itu, sejak awal tahun bisa dipastikan target serapan 1,8 juta ton pada 2019 tak akan tercapai. Manajemen Bulog tak lagi agresif menyerap beras domestik. Sampai awal Desember serapan baru 1,17 juta ton," ungkap Khudori.

Ia menilai pengurangan serapan itu akan berpengaruh pada stok publik, dan memperkecil penyaluran publik lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement