REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Pengusaha menilai, pelatihan vokasi bagi calon tenaga kerja sangat penting. Sebab, industri membutuhkan pekerja yang siap pakai.
"Di Korea, pemerintah di sana mengalokasikan anggaran sekitar 2.000 dolar AS untuk mempersiapkan orang-orang yang akan masuk ke dunia kerja. Kalau Indonesia terapkan kebijakan itu, berarti perlu dana Rp 19 triliun," ujar Direktur Administrasi Korporasi dan Hubungan Eksternal PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam pada hari kedua The 9th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat, (6/12).
Pria yang juga Ketua Komite Pekerjaan di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini menyebutkan, sekarang pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp 10 triliun untuk memberikan pelatihan ke para calon tenaga kerja. "Menurut saya itu sudah bagus, karena nggak mungkin tiba-tiba alokasikan Rp 19 triliun," tutur Bob.
Hanya saja, menurutnya, dana bukanlah segalanya, sebab jika ingin meningkatkan keahlian tenaga kerja, diperlukan pula infrastruktur. Maka, lanjut dia, swasta bisa bekerja sama dengan pemerintah dalam hal infrastruktur teknologi.
"Kita nggak boleh banyak bergantung dengan pemerintah. Pelaku industri bisa membuat konsorsium keterampilan, misal untuk meningkatkan kinerja manufaktur dan digitalisasi, perlu banyak orang lakukan perawatan tingkat lanjut," jelas Bob.
Dirinya menambahkan, bila menunggu universitas di Tanah Air membuat jurusan yang sesuai dunia kerja saat ini, perlu waktu lima sampai 10 tahun. Padahal pelaku usaha sudah membutuhkan.
Dalam membuat konsorsium, kata dia, pengusaha juga bisa menggandeng Pemerintah Daerah (Pemda). "Perusahaan bisa satukan kemampuan kita dan jadikan ini lebih efektif demi capai satu hal yang bisa kita capai. Itu tujuan Kadin," ujarnya.
Bob menambahkan, Indonesia memerlukan ekosistem tepat agar pemerintah dan industri dapat bekerja sama sekaligus mengembangkan kemandirian. "Singapura, 40 tahun lalu punya roadmap pembangunan manusia, Korea Selatan sejak 1995 memiliki asuransi pengangguran, dan Malaysia mengeluarkan sistem pajak pendidikan 30 tahun lalu. Kita juga perlu ekosistem semacam itu," kata dia.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Arif Baharudin mengakui, pemerintah tidak bisa jalan sendiri dalam membangun tenaga kerja berkualitas. Dengan begitu perlu mengajak swasta berkolaborasi.
"Setiap tahun tenaga kerja baru masuk dunia usaha, ini perlu ditangani. Nggak bisa andalkan pemerintah saja," kata dia pada kesempatan serupa.
Jika dilihat, lanjutnya, satu persen pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan menghasilkan 493 ribu lebih lowongan pekerjaan. Maka bagi Arif, penting meningkatkan PDB dan mendorong kebijakan fiskal lebih lanjut.
"Sekali lagi, pertumbuhan PDB penting. Hal itu karena, bisa mengurangi tingkat pengangguran," tuturnya