Jumat 29 Nov 2019 21:38 WIB

Pengembangan Layanan demi Pasar Modal yang Inklusif

Pengembangan layanan pasar modal diharapkan bisa menambah jumlah investor dan emiten

Rep: Friska Yolandha/ Red: Dwi Murdaningsih
Media gathering pasar modal bersama pemangku kepentingan, Jumat (25/10).
Foto: republika/friska yolandha
Media gathering pasar modal bersama pemangku kepentingan, Jumat (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era digital telah membawa perubahan besar bagi manusia. Dengan platform digital, banyak hal yang dapat dilakukan dalam waktu singkat dan cepat. Tak luput pula digitalisasi merambah pasar modal.

Jika dulu berinvestasi saham harus dilakukan dengan menelepon broker dan memesan melalui anggota bursa, hari ini memiliki saham sebuah perusahaan tinggal membuka aplikasi di ponsel. Kepemilikan atas perusahaan begitu mudah didapatkan hanya dengan menari di atas layar telepon pintar.

Baca Juga

Inovasi lain yang juga terjadi di pasar modal adalah Public Expose Live 2019. Tahun ini, pertama kali Self Regulatory Organization (SRO) memperkenalkan Webinar, aplikasi yang memungkinkan seminar, dan diskusi dilakukan secara online tanpa harus tatap muka secara langsung.

Sebanyak 42 emiten mengikuti kegiatan tersebut pada Rabu (28/11). Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi mengatakan, kegiatan ini direspons baik masyarakat. "Data menunjukan jumlah partisipan mencapai 21.522 peserta," ujarnya.

Public Expose Live 2019 juga mencatat berbagai rekor baru. Jumlah partisipan mencapai 21.522 peserta yang terdiri atas 4.570 hadir secara langsung dan 10.690 peserta menyaksikan secara online, ditambah 6.262 peserta melakukan kegiatan nonton bareng di Kantor Perwakilan BEI dan Galeri Investasi seluruh Indonesia. Public Expose Live 2019 diakses dari 121 kota dan 28 negara.

Layanan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah kehadiran peserta dalam setiap kegiatan yang dilakukan Bursa Efek Indonesia. Ini juga diharapkan bisa meningkatkan jumlah investor di pasar modal dan meningkatkan literasi keuangan, khususnya terkait pasar modal.

Inovasi ini sejalan dengan tema 42 tahun diaktifkannya Pasar Modal Indonesia, 'Memperluas Layanan dan Memberikan Perlindungan Pasar Modal untuk Semua'. Kebutuhan akan variasi layanan dan produk pasar modal menjadi tantangan utama industri.

Direktur Utama BEI Inarno Djajadi mengatakan, sejumlah pengembangan layanan lain tengah diupayakan BEI untuk memberikan variasi produk bagi industri pasar modal. BEI tengah menggodok perubahan maximum price movement produk ETF, mengembangkan klasifikasi industri BEI dan penyesuaian mekanisme pre closing. Penyesuaian pre closing ini dilakukan untuk mengurangi volatilitas harga saham pada saat penutupan.

BEI juga tengah mengembangkan electronic Indonesia Public Offering (e-IPO), electronic RKAT dan implementasi ETP Tahap II. "Khusus e-IPO, e-RKAT dan ETP Tahap II menjadi program strategis SRO dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," katanya.

Seluruh upaya itu diharapkan dapat menambah jumlah investor baru dan emiten baru yang tercatat di BEI. Per 28 November 2019, investor saham yang tercatat mencapai 237.747 single investor ID (SID). Jumlah ini melebihi ivestor baru tahun 2018 yang hanya 223.749 SID.

Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Uriep Budhi Prasetyo mengatakan, pertumbuhan investor dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 2016, tercatat hanya 894.116 SID. Jumlah ini bertambah menjadi 1,1 juta SID pada 2017. Jumlah itu meningkat signifikan menjadi 1,6 juta SID pada 2018 dan 2,3 juta SID hingga akhir November 2019.

KSEI juga mencatat penambahan bank administrator rekening dana nasabah (RDN) dari 14 bank menjadi 16 bank. Jumlah bank pembayaran bertambah dari lima bank menjadi 9 bank. "Penambahan ini diharapkan bisa memudahkan investor dalam menyelesaikan transaksi di pasar modal," katanya.

Sementara itu, total emiten baru yang melantai di BEI hingga akhir November adalah sebanyak 48 perusahaan. Mereka tercatat baik di papan utama maupun pengembangan.

Terkait emiten, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan ingin mengubah prioritas emiten yang IPO. Jika dulu emiten IPO saat kapitalisasinya sudah besar, kini SRO mengajak emiten untuk IPO supaya bisa berkembang menjadi lebih besar.

"Sekarang, masuk ke pasar modal biar jadi besar. Kalau dulu, besar dulu baru masuk pasar. Kalau masih seperti itu, tidak ada yang mau IPO," kata Hoesen.

Saat ini, mencari perusahaan berkapitalisasi besar di Indonesia cukup sulit. Apalagi, Indonesia tidak memiliki banyak 'perusahaan berusia tua' yang usahanya sudah stabil dengan pertumbuhan organiknya.

OJK mendorong perusahaan untuk IPO agar lebih terbuka dan memiliki tata kelola baik. Dengan IPO, perusahaan bisa memperoleh dana dari publik untuk berkembang, baik secara organik maupun anorganik.

"Kalau perusahaan tertutup, lebih mahal dan tidak punya akses utk akuisisi karena tertutup," lanjutnya.

OJK juga mendorong daerah untuk menerbitkan obligasi. Namun, penerbitan ini harus disertai dengan kehati-hatian dan kemampuan pemerintah daerah (pemda) untuk membayar. Dengan adanya obigasi daerah, investor akan memiliki lebih banyak pilihan untuk berinvestasi di pasar modal. Diharapkan, hal ini akan meningkatkan gairah berinvestasi di pasar modal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement