REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, fenomena bakar uang pada perusahaan rintisan atau startup akan mengalami masa pasang dan surut. Hal ini bergantung pada aliran dana investasi.
Apabila sudah ‘seret’, startup akan mengurangi kegiatan yang berpotensi ‘membakar uang’ mereka. Beberapa startup, seperti marketplace Tokopedia dan Bukalapak, dinilai Huda sudah mengalami masa surut.
Ini tergambarkan dari kegiatan promo dua platform tersebut yang berkurang dibandingkan beberapa tahun lalu. "Nantinya, akan diikuti oleh perusahaan seperti Gojek dan OVO," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (29/11).
Huda mengatakan, strategi bakar uang pada perusahaan rintisan tidak akan berdampak signifikan kepada ekonomi Indonesia secara makro. Dampaknya justru menguntungkan dari sisi konsumen atau consumer surplus.
Hanya saja, Huda menambahkan, startup memiliki pekerjaan rumah besar untuk mempertahankan loyalitas konsumen. Sebab, strategi bakar uang ini tidak akan menghasilkan dampak secara permanen.
"Jika sudah tidak dilakukan lagi, maka akan terjadi penurunan consumer surplus," katanya.
Banyak cara yang dapat dilakukan perusahaan rintisan untuk bertahan. Salah satunya kerja sama dengan startup lain yang memiliki skema serupa guna memperluas pasar.
Huda memberikan contoh, OVO yang berpeluang menjalin kerja sama berupa merger dengan dompet digital lain seperti DANA. OVO diketahui baru saja mengalami perubahan dari sisi kepemilikan saham.
Lippo Group, pendiri OVO, melepaskan 70 persen sahamnya di OVO. Lippo Group mengakui, strategi bakar uang yang dilakukan OVO memberikan tambahan beban pada perusahaan.
Huda mengatakan, pelepasan mayoritas saham ini menuntut OVO untuk mencari strategi lain. Khususnya untuk bersaing dengan rival utamanya, Gopay. "OVO dinilai butuh tenaga dana lebih untuk terus bersaing dengan Gopay," ujarnya.