Ahad 17 Nov 2019 21:31 WIB

Penurunan Impor Bahan Baku Jadi Peringatan Bagi Iklim Usaha

Penurunan impor bahan baku menunjukkan iklim usaha dan investasi manufaktur menurun.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Joko Sadewo
Pelepasan Ekspor Manufaktur (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Pelepasan Ekspor Manufaktur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Impor bahan baku pada Oktober 2019 naik 6,17 persen dibandingkan bulan lalu. Hanya saja bila dibandingkan periode sama tahun lalu justru menurun hingga 18,76 persen.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menilai, penurunan impor bahan baku dan penolong, seharusnya menjadi peringatan bagi Indonesia. Pasalnya ini menunjukkan daya saing iklim usaha dan iklim investasi sektor manufaktur atau pengolahan nasional tengah menurun.

"Ini terbukti dengan semakin turunnya kontribusi sektor manufaktur dan pengolahan nasional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II sampai kuartal III 2019," ujarnya kepada Republika, Ahad, (17/11). Data tersebut, kata dia, seharusnya membuat pemerintah memberikan perhatian khusus dan meningkatkan urgensi agar semakin mempercepat reformasi iklim usaha sekaligus investasi di sektor manufaktur serta pengolahan.

Dengan begitu, penurunan produktivitas dan investasi di sektor itu tidak terus berlanjut. Kemudian dapat cepat terkoreksi dalam waktu dekat.

Shinta menjelaskan, sektor manufaktur atau pengolahan memerlukan iklim usaha dan iklim investasi yang sangat efisien pada kegiatan produksi manufaktur. Khususnya efisiensi biaya produksi dan efisiensi biaya supply chain atau beban pengadaan input produksi, terutama yang diimpor serta beban-beban penjualan atau ekspor.

"Sektor manufaktur dan pengolahan sangat tergantung pada efisiensi dan penciptaan economic scale yang lebih besar. Tujuannya agar output mereka bisa bersaing di pasar global yang sedang menyusut," kata Shinta.

Hal itu, lanjutnya, tidak bisa dilakukan tanpa investasi di sektor manufaktur, dan iklim usaha yang memberikan fleksibilitas bagi perusahaan,  supaya bisa melakukan efisiensi berbagai biaya produksi dan supply chain.

"Kalau yang dibenahi hanya iklim investasi atau market access investasi, investor belum tentu  masuk karena keputusan investasi di sektor manufaktur memberikan porsi pertimbangan besar pada kemampuan perusahaan dalam menciptakan efisiensi biaya produksi & supply chain manufaktur," jelas dia.

Sebaliknya, bila hanya iklim usaha nasional yang dibenahi, investasi tidak akan masuk krn beban starting business yang tidak bersaing dibandingkan berbagai negara pesaing Indonesia. "Keduanya akan mematikan industri manufaktur nasional karena tanpa investasi, industri manufaktur dan pengolahan kita tidak bisa membuat economic scale bersaing di pasar," tutur Shinta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement