Ahad 10 Nov 2019 16:45 WIB

Bea Masuk Sementara Diyakini Mampu Tahan Laju Impor Tekstil

Pemerintah juga memperketat pengawasan, terutama di tempat masuknya produk tekstil.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memproduksi kaos di industri konveksi rumahan di Lesanpuro, Malang, Jawa Timur, Selasa (17/9/2019). Pengusaha konveksi setempat mengeluhkan naiknya ongkos produksi sebesar 15 persen akibat melonjaknya harga bahan baku tekstil berupa kain kapas dan benang sehingga mereka terpaksa menaikkan harga jual kaos dari kisaran Rp80.000 menjadi 90 ribu rupiah per lembar agar tidak mengalami kerugian.
Foto: ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Pekerja memproduksi kaos di industri konveksi rumahan di Lesanpuro, Malang, Jawa Timur, Selasa (17/9/2019). Pengusaha konveksi setempat mengeluhkan naiknya ongkos produksi sebesar 15 persen akibat melonjaknya harga bahan baku tekstil berupa kain kapas dan benang sehingga mereka terpaksa menaikkan harga jual kaos dari kisaran Rp80.000 menjadi 90 ribu rupiah per lembar agar tidak mengalami kerugian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) Syarif Hidayat percaya penerapan kebijakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) untuk beberapa jenis barang impor tekstil dan produk tekstil (TPT) akan efektif membendung produk impor. Kebijakan ini diresmikan dalam tiga regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dirilis Selasa (5/11) dan berlaku per Sabtu (9/11). 

Syarif menyebutkan, penerapan BMTPS terhadap sejumlah jenis produk dalam industri TPT sebenarnya berada di bawah kewenangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. Tapi, secara garis besar, DJBC akan mengamankan kebijakan tersebut. "Kami percaya ini bisa efektif untuk menahan laju impor," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (10/11). 

Baca Juga

Syarif menambahkan, pihaknya akan mengantisipasi apabila ada upaya-upaya menghindari tindakan pengamanan sementara ini. Di antaranya dengan memperketat pengawasan, baik di pelabuhan tempat masuknya barang tersebut hingga daerah-daerah rawan penyelundupan. 

Selain itu, Syarif mengatakan, pengawasan juga dilakukan di sekitar pesisir timur Pantai Sumatera. Pengawasan di fasilitas kepabeanan lain turut dijalankan DJBC Kemenkeu. "Seperti di kawasan berikat dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) serta Pusat Logistik Berikat (PLB)," tuturnya. 

Salah satu regulasi teknis untuk mengaplikasikan BMTPS adalah melalui PMK Nomor 161 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS Terhadap Impor Produk Benang (Selain Benang Jahit) dari Serat Stapel Sintetik dan Artifisial. Peraturan diberlakukan terhadap enam pos tarif. Bea masuk yang dikenakan adalah sebesar Rp 1.405 per kilogram.

Sementara itu, PMK Nomor 162 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Kain. Sebanyak 107 pos tarif dikenakan bea masuk dengan variasi harga antara Rp 1.318 per meter hingga Rp 9.521 per meter serta tarif ad valorem berkisar 36,30 persen hingga 67,70 persen. 

Terakhir, PMK Nomor 163 Tahun 2019 tentang Pengenaan BMTPS terhadap Impor Produk Tirai (termasuk Gorden), Kerai Dalam, Kelambu Tempat Tidur dan Barang Perabot Lainnya. Bea impor dikenakan terhadap delapan pos tarif dengan nominal sebesar Rp 41.083 per kilogram. 

Di sisi lain, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menyebutkan, penerbitan PMK tidak dapat berdiri sendiri sebagai solusi impor TPT yang kini sudah membanjiri pasar Indonesia. Dibutuhkan perbaikan regulasi lain agar produk dalam negeri dapat kompetitif di negeri sendiri. "Masih ada pekerjaan rumah lainnya yang menunggu," ujarnya. 

Salah satu tugas yang disebutkan Andry adalah revisi Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai (Perdirjen BC) mengenai PLB. Sampai saat ini, PLB masih menjadi masalah mengingat banyaknya kain dan produk tekstil lain yang masuk dari PLB. Beberapa indikasinya melalui impor borongan dengan hanya menggunakan syarat purchasing order (PO). 

Revisi Perdirjen BC itu harus dapat memastikan perlakuan yang sama dengan di pelabuhan. "Yakni syarat tataniaga dan plafon harga harus dipastikan tidak boleh lebih murah," tutur Andry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement