REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesenjangan digital di Indonesia masih nyata adanya. Center for Digital Society dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melakukan riset mengenai kesenjangan digital kepada sebanyak 88 responden perempuan mitra PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha, di delapan kota yang meliputi Bandung, Banyumas, Bogor, Kediri, Klaten, Mojokerto, Subang, dan Sukabumi.
“Kita tahu bahwa Indonesia saat ini masih memiliki problem dengan kesenjangan digital antara perkotaan dan pedesaan. Premisnya adalah kesenjangan digital disebabkan karena dua hal,” kata Sekretaris Eksekutif CfDS UGM, Dewa Ayu Diah Angendari dalam acara peluncuran hasil riset dengan Amartha, di wilayah Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Dia melanjutkan, dua hal penyebab dari kesenjangan digital itu adalah infrastruktur yang belum merata, dan yang kedua adalah adopsi teknologi yang juga merata. Ketika Diah dan timnya terjun ke lapangan menemui responden perempuan, dia membawa premis itu saat mengambil data responden.
Hasilnya, ada sebanyak 62,5 persen dari responden tidak memiliki perangkat yang memungkinkan mereka untuk terhubung ke internet. “Hanya 37,5 persen yang memiliki akses terhadap internet,” ungkap Diah.
Dari prosentase 37,5 persen itu, ditemukan 87,5 persen responden mengakses internet melalui ponsel pintar mereka sendiri. Responden sisanya, mengakses internet melalui perangkat laptop atau tablet milik anak-anak mereka.
Perkembangan peer-to-peer lending berbasis teknologi tidak dapat dilepaskan dari penetrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di masyarakat. Kesenjangan digital ini juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat sosial ekonomi.
Dari sekian responden yang dapat mengakses internet, hanya sedikit yang menyebutkan bahwa mereka menggunakan aplikasi pesan untuk mendukung pekerjaan mereka. “Artinya, mayoritas responden menggunakan perangkat mereka untuk mengakses platform media sosial; seperti Facebook dan Youtube untuk tujuan hiburan dan komunikasi,” jelas Diah.