REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kemunculan teknologi finansial (tekfin) ilegal sulit untuk dihentikan. Salah satu alasannya, banyak pelaku tekfin ilegal yang memiliki server di luar negeri, sehingga sulit dideteksi.
"Ini menjadi masalah, banyak pelaku fintech lending ilegal yang memiliki server di luar negeri dan tidak tahu keberadaannya," ujar Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK, Tongam Lumban Tobing, Selasa (29/10).
Sebagai informasi, hampir sepertiga server tekfin ilegal tersebar di sejumlah negara. Berdasarkan data OJK, sebanyak 15 persen atau sekitar 166 server berada di Amerika Serikat, kemudian diikuti Singapura sebanyak 69 server dan China sebanyak 66 server.
Selebihnya, server tekfin ilegal tersebar di Malaysia, Hong Kong, Rusia, Filipina, Korea, Thailand dan Australia. Server juga tersebar di negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris, hingga Belanda.
Menurut Tongam, OJK belum bisa melakukan penindakan langsung terhadap pemilik-pemilik server tersebut. OJK berharap ke depan bisa bekerja sama dengan kedutaan besar negara bersangkutan agar dapat melakukan penindakan lebih lanjut.
Sejauh ini, OJK baru bisa melakukan pemblokiran terhadap situs maupun aplikasi yang ada di Indonesia. Selain itu, OJK sudah kerja sama dengan Google dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk melakukan deteksi dini.
"Kami tidak bisa kita kendalikan secara langsung bagaimana orang membuat aplikasi. Yang bisa kita lakukan adalah deteksi dini dan melakukan pemblokiran secara dini," tutur Tongam.
Sepanjang tahun 2018 hingga Oktober 2019, Satuan Tugas Waspada Investasi sudah mengentikan 1.773 entitas fintech peer-to-peer lending tanpa izin OJK. Menurut Tongam, OJK pun telah melaporkan ribuan fintech ilegal tersebut ke Bareskim Polri.