REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan akan menindaklanjuti rekomendasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Dari hasil final investigasi kecelakaan pesawat Lion Air nomor registrasi PK-LQP yang jatuh pada penerbangan JT 610 dari Jakarta ke Pangkalpinang pada 29 Oktober 2018, KNKT menerbitkan tiga rekomendasi untuk Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub.
Ketua Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo merekomendasikan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub untuk meningkatkan pengawasan prosedur maskapai. "Begitu juga untuk peningkatan pengawasan bengkel perawatan pesawat," kata Nurcahyo dalam konferensi pers di Gedung KNKT, Jumat (25/10).
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Polaa B Pramesti mengatakan
pascakecelakaan jatuhnya pesawat tersebut sudah melakukan pemeriksaan khusus terhadap aspek kelaikudaraan seluruh pesawat Boeing 737 MAX 8. Begitu juga setelah kejadian Ethiopian Airlines, Kemenhub meminta seluruh pesawat dengan jenis B 737 Max 8 yang beroperasi di Indonesia dilarang terbang.
Selanjutnya, kata Polana, dengan memperhatikan Continues Airworthinnes Notification to the International Community (CANIC) yang diterbitkan Federal Aviation Administration (FAA) pada 13 Maret 2019 juga dilakukan pelarangan terbang pesawa tersebut. "Grounded ini dlakuka kepada seluruh pesawat Boeing jenis B 737 MAX 8 yang beroperasi di Indonesia," tutur Polana.
Dia menambahkan Kemenhub tetap berkomitmen untuk memastikan keselamatan dan keamanan penerbangan. Polana mengatakan akan koordinasi dengan komunitas dan organisasi internasional, khususnya FAA dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk tetap memastikan terpenuhinya keselamatan serta keamanan penerbangan sipil di Indonesia.
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menghormati hasil akhir investigasi kecelakaan Lion Air JT-610, yang terjadi di Perairan Tanjung Karawang, 29 Oktober 2018 lalu, oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Polana B Pramesti, menyampaikan bahwa Ditjen Hubud mengapresiasi dan akan menindaklanjuti hasil investigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang sejalan dengan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Sebelumnya, KNKT membeberkan sembilan faktor penyebab kecelakaan pesawat tersebut. Nurcahyo mengatakan sembilan faktor tersebut berkontribusi dalam kecelakaan yang menewaskan 189 korban jiwa itu.
"Kalau ini (9 faktor penyebab) terhindar, kecelakaan mungkin tidak terjadi," kata Nurcahyo dalam konferensi pers di Gedung KNKT, Jakata (25/10).
Dia menjelaskan faktor pertama yakni asumsi terkait rekasi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeng 737 MAX 8. Nurcahyo menjelaskan ada beberapa yang menjadi acuan yakni terkait asumsi yang dibuat atas reaksi pilot, kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, dan sensor tunggal yang diadalkan untuk Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
Nurcahyo mengatakan faktor penyebab ketiga yaitu desain MCAS yang ada di dalam pesawat Boeing 737 MAX 8 hanya mengandalkan satu sensor saja. "Ini sebenarnya rentan terhadap kesalahan dalam pesawat Boeing 737 MAX 8," tutur Nurcahyo.
Selanjutnya, faktor penyebab keempat yaitu pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya. Dia mengatakan pilot memberikan respons tersbeut karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan Boeing 737 MAX 8.
Faktor penyebab kelima yaitu idikator Angle of Attack (AOA) Disagree tidak tersedia di pesawat Boeing 737 MAX 8. "Ini akbiatnya informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan," jelas Nurcahyo.
Dia menjelaskan perbedaan penunjukkan sudut AOA tersebut tidak dapat dicatat oleh pilot dan teknisi. Pada akhirnya pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor saat penerbangan sebelum kecelakaan yaitu dari Denpasar ke Jakarta.
Faktor penyebab keenam yaitu AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pad apenerbangan sebumnya yakni Denpasar menuju jakarta. Nurcahyo mengaakan investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
Dia menambahkan informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal runaway stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan dan perawatan pesawat menjadi faktor penyebab ketujuh. "Ini mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat," ujar Nurcahyo.
Selanjutnya, faktor kesembilan yaitu berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan Air Traffic Controller (ATC) tidak terkelola dengan efektif. Dia menjelaskan hal tersebut disebabkan oleh situasi kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot.
"Faktor kesembilan ini berdampak pada ketidak-efektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini," ungkap Nurcahyo.