Rabu 23 Oct 2019 02:15 WIB

China Sebut Pembicaraan Dagang dengan AS Ada Kemajuan

China dan AS telah mencapai banyak kerja sama ekonomi selama bertahun-tahun

Rep: de/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Cina dan AS. Ilustrasi.
Foto: worldwide-connect.com
Bendera Cina dan AS. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Negosiasi perdagangan antara China dan Amerika Serikat mencapai kemajuan. Wakil Menteri Luar Negeri China, Le Yucheng, mengatakan, antar negara saling menghormati dan meyakini bisa menyelesaikan masalah yang ada.

Yucheng menyampaikan, tidak ada negara yang dapat makmur tanpa bekerja sama dengan negara lain. Dunia, kata Le, juga ingin agar China dan AS segera mengakhiri perang dagang. Karenanya untuk mencapai kesepakatan perlu adanya keterbukaan agar perang dingin bisa berakhir.

Baca Juga

Pemerintah China mengaku khawatir jika Washington menginginkan 'pemisahan penuh' dengan China.

Sebagaimana dilansir dari Reuters, Kamis (22/10), kedua negara telah menyelesaikan sengketa perdagangan. AS juga mengumumkan kesepakatan 'tahap I' dengan Cina dengan menanggungkan kenaikan tarif bea masuk atas barang-barang dari Cina yang dijadwalkan diterapkan pada Oktober.

"Selama kita saling menghormat dan mencari kerja yang etara, maka tidak ada perbedaan pendapat yang tidak dapat diselesaikan antara China dan AS," kata Le dikutip Reuters.

Ia menambahkan, apa yang diingin China adalah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat China. "Kami tidak ingin mengambil apapun dari orang lain. Tidak ada yang namanya China menggantikan siapapun atau mengancam siapapun," ujar dia.

Menurut Le, China dan AS telah mencapai banyak kerja sama ekonomi selama bertahun-tahun. "Lalu mengapa kita membuang prestasi kerja sama seperti itu?" kata dia menambahkan.

Namun, dia juga menekankan bahwa China tidak akan menukar kepentingan negaranya atau membiarkan negara lain merusak keamanan domestik. "Tidak ada seorang pun yang boleh berharap China akan menelan konsekuensi pahit dengan mengutamakan kepentingannya. Baik di darat, laut, atau apakah itu Taiwan, Hong Kong, Xinjiang, atau Tibet," kata Le menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement