Senin 21 Oct 2019 16:46 WIB

Mahathir Ingatkan Kemungkinan Sanksi Dagang untuk Malaysia

Amerika Serikat dan China adalah dua dari tiga tujuan ekspor terbesar bagi Malaysia

Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad
Foto: The Star
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan negaranya, yang bergantung pada ekspor, dapat terkena sanksi perdagangan di tengah peningkatan proteksionisme yang terlihat dalam perang tarif AS-China. Mahathir tidak menyebut sumber dari kemungkinan sanksi terhadap Malaysia.

Namun dia mengaku kecewa karena para pendukung perdagangan bebas kini terlibat dalam praktik perdagangan terbatas dalam "skala besar". "Sayangnya, kami terjebak di tengah-tengah," katanya dalam sebuah konferensi di Kuala Lumpur, saat berbicara soal perang dagang antara Amerika Serikat dan China, Senin (21/10).

Baca Juga

"Dalam bidang ekonomi, kita terhubung dengan kedua negara dan secara fisik, kita juga terjebak di tengah-tengah karena alasan geografis. Bahkan ada yang mengatakan kita sendiri akan menjadi sasaran sanksi."

Amerika Serikat dan China adalah dua dari tiga tujuan ekspor terbesar bagi Malaysia dalam periode Januari-Agustus tahun ini sementara Singapura berada di posisi teratas. Untuk mengurangi dampak dari benturan antara kedua negara adidaya tersebut, Mahathir mengatakan Malaysia lebih banyak berkolaborasi dengan negara-negara tetangga di kawasan.

Dia juga mengeluhkan perundungan yang dilakukan oleh negara-negara kuat. Ia mengacu pernyataannya itu pada tindakan yang dilakukan oleh negara-negara Eropa terhadap andalan pertanian Malaysia, yakni kelapa sawit.

Minyak kelapa sawit Malaysia berkontribusi sebesar 2,8 persen untuk produk domestik bruto (PDB) Malaysia tahun lalu, dan 4,5 persen dari total ekspor. "Setelah menebangi sebagian besar hutan mereka dan menolak untuk mengurangi emisi berbahaya mereka, mereka sekarang mencoba memiskinkan orang miskin dengan mencegah mereka menebang hutan untuk ruang hidup dan mencari nafkah," ungkap Mahathir.

Pada awal 2019, Uni Eropa memutuskan untuk menghapuskan minyak kelapa sawit dari bahan bakar terbarukan pada 2030 karena kekhawatiran terkait penggundulan hutan.

Ada juga kekhawatiran bahwa India, sebagai salah satu pembeli minyak kelapa sawit terbesar di Malaysia, akan membatasi impor produk tersebut karena pertikaian diplomatik atas komentar yang dibuat oleh Mahathir mengenai tindakan yang diambil New Delhi baru-baru ini di wilayah Kashmir yang disengketakan di Asia Selatan.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement