Senin 14 Oct 2019 14:19 WIB

Pemerintah Dorong Keterlibatan Swasta Atasi Kemiskinan

Kesenjangan ekonomi besar masih terjadi di Papua dan Maluku

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Miskin
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Miskin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengatakan, menurunkan tingkat kemiskinan memang tidak sekadar membangun infrastruktur. Dibutuhkan kegiatan ekonomi dari lintas sektor agar tercipta nilai tambah dan pendapatan yang lebih baik di tingkat masyarakat.

Vivi mengatakan, upaya tersebut yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia bagian Timur. Kesenjangan besar masih terjadi di Papua dan Maluku yang masih membutuhkan dorongan berupa aktivitas ekonomi bernilai tambah.

Baca Juga

"Tidak hanya dari pemerintah pusat maupun daerah, juga dengan pihak swasta," ucapnya usai diskusi Potret Indeks Kemiskinan Multidimensi 2019 di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (14/10).

Vivi menjelaskan, dunia usaha memiliki peranan penting menciptakan kegiatan ekonomi bernilai tambah ini. Kehadiran swasta mampu menciptakan lapangan kerja formal yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara berkelanjutan. Hasil akhirnya, tingkat kesejahteraan mereka semakin terjamin.

Dalam membuat kebijakan, Vivi menyebutkan, pemerintah selama ini sudah berbasis data, yaitu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) ini menggunakan tingkat pendapatan dan pengeluaran sebagai basis perhitungan tingkat kemiskinan.

Hanya saja, untuk mengentaskan kemiskinan, Indonesia masih membutuhkan data permasalahan yang lebih konkrit dan komprehensif. Salah satu basis data yang akan digunakan adalah Multi-dimensional Poverty Index (MPI) atau indeks kemiskinan mutldimensi. Indeks ini dirumuskan oleh United Nations Development Program (UNDP) bersama Universitas Oxford.

Vivi menjelaskan, metode dari UNDP melengkapi cara perhitungan tingkat kemiskinan yang lebih detail dalam membahas sumber penyebabnya. Sebab, MPI menggunakan tiga dimensi dalam perhitungannya, yaitu kesehatan, pendidikan dan standar kehidupan. "Kita dapat melihat di mana penyakitnya dan bagaimana mengatasinya," katanya.

Tapi, Vivi menambahkan, mengatasi permasalahan kemiskinan tidak hanya dapat dilakukan di lingkup Kementerian PPN/ Bappenas. Dibutuhkan koordinasi dan diskusi lintas kementerian/ lembaga (K/L) dan pemangku kepentingan, khususnya swasta.

Tidak sekadar berbicara kemiskinan, penyakit lain yang dialami Indonesia adalah ketimpangan. Vivi mengatakan, tepatnya adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa mendapatkan 'porsi' rata dari 'kue' yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. "Program swasta yang ada di daerah bisa sama-sama mengejar ketimpangan ini," ucapnya.

Perhitungan MPI mencatat, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2019 adalah 7,0 persen. Artinya, masih ada 16,6 juta masyarakat Indonesia yang tergolong dalam kategori kemiskinan multidimensi. Permasalahan terbesar adalah sulitnya akses masyarakat terhadap bahan bakar untuk memasak dan sanitasi.

Technical Advisor Development Finance UNDP Muhammad Didi Hardiana mengatakan, MPI dapat menjadi basis data bagi pemerintah maupun swasta untuk merancang kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang lebih fokus. Sebab, indikator yang digunakan bersifat multidimensi dan tidak sekadar berbicara pendapatan ataupun pengeluaran masyarakat.

Didi menjelaskan, bukan berarti MPI bersifat kontradiktif dengan data BPS selama ini. Justru, MPI dapat digunakan sebagai komplementer dari data yang sudah ada. "Tujuannya, agar program dapat lebih akurat dan tepat sasaran menekan kemiskinan," tuturnya.

Selanjutnya, Didi berharap, MPI dapat segera dimanfaatkan pemerintah dan swasta. Khususnya dalam mengatasi ketimpangan di pedesaan dan kota yang masih tinggi. Pada 2019, tingkat kemiskinan multidimensi di perkotaan hanya 2,8 persen, sedangkan di desa dapat mencapai 11,20 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement