REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Industri Halal FEB UI, Banu Muhammad, mengatakan, potensi besar industri halal nasional belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemain lokal. Industri halal justru lebih banyak dikuasai oleh perusahaan multinasional yang banyak berasal dari negara non-Muslim.
Menurut Banu, industri inilah yang sangat siap menghadapi kewajiban sertifikasi halal yang akan segera berlaku dalam waktu dekat. "Industri besar ini sangat siap, tapi yang industri kecil dan menengah sepertinya agak berat," kata Banu kepada Republika, Senin (7/10).
Banu mengatakan, dibandingkan Malaysia, cakupan sertifikasi halal produk makanan Indonesia masih jauh lebih rendah. Produk makanan Indonesia yang bersertifikat halal bahkab belum mencapai 60 persen, sedangkan Malaysia mencapai 90 persen.
Meski demikian, Banu optimistis, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan tersebut. Menurut Banu, gerakan masyarakat yang masif untuk sertifikasi halal nantinya akan diikuti oleh gerakan dan insentif dari pemerintah.
Sementara itu, Presiden World Halal Industry & Trade Alliance (WHITA) Betha A Djardjis, mengakui pemberlakuan Undang Undang Jaminan Produk Halal baik untuk ummat Muslim maupun non Muslim. Namun, agar penerapan nya tidak jadi beban bagi UMKM, sebaiknya pemerintah bersinergi dengan berbagai pihak membantu meringankan beban UMKM.
"Salah satunya menerapkan sistem manajemen digital terhadap UMKM sehingga semua Hal dalam operational UMKM bisa di kontrol secara real-time," kata Betha.