Senin 21 Jul 2025 16:40 WIB

Harga Nikel Tertekan Tren EV, Emiten Ini Justru Cuan Rp 358 Miliar

Penjualan meningkat 152,07 persen menjadi Rp 1,05 triliun.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Tambang nikel (ilustrasi).
Foto: NICL
Tambang nikel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — PT PAM Mineral Tbk (NICL) mencatatkan kinerja impresif meski harga nikel global tengah tertekan oleh normalisasi tren kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Pada semester I 2025, NICL membukukan laba bersih sebesar Rp 358,07 miliar, melonjak 386,51 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Penjualan meningkat 152,07 persen menjadi Rp 1,05 triliun, seiring lonjakan volume penjualan nikel dari 707.597 MT menjadi 1.885.433 MT atau tumbuh 166,46 persen. Laba kotor tercatat naik tajam menjadi Rp 523,46 miliar dari sebelumnya Rp 142,85 miliar, atau tumbuh 266,43 persen. Margin laba kotor juga membaik dari 34,08 persen menjadi 49,54 persen.

Baca Juga

“Sejak akhir 2024, harga acuan nikel domestik turun 3,80 persen mengikuti tren global dan normalisasi euforia pasar kendaraan listrik,” kata Direktur Utama NICL Ruddy Tjanaka dalam keterangan tertulis, Senin (21/7/2025).

Ia menyatakan, kondisi tersebut telah diprediksi dan diantisipasi sejak awal tahun. “Kinerja operasional dan keuangan yang positif mencerminkan kesiapan kami menghadapi dinamika pasar,” ujarnya.

Laba usaha naik 419,32 persen menjadi Rp 456,30 miliar. Sebagian besar laba tersebut telah dibagikan sebagai dividen interim sebesar Rp 159,53 miliar atau 82,60 persen dari laba bersih semester I.

Total aset NICL per Juni 2025 mencapai Rp 1,09 triliun, meningkat dari Rp 1,05 triliun pada akhir 2024. Di sisi lain, liabilitas turun dari Rp 171,92 miliar menjadi Rp 150,69 miliar. NICL juga tercatat tidak memiliki utang bank jangka panjang, sementara ekuitas naik menjadi Rp 949,13 miliar.

“Di tengah situasi geopolitik global yang belum stabil, kami tetap puas dengan pencapaian kuartal kedua 2025,” ujar Ruddy.

NICL memproyeksikan harga nikel masih akan berfluktuasi akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat dan kondisi kelebihan pasokan. Namun, ketegangan antara China dan negara-negara Barat membuka peluang strategis bagi Indonesia sebagai alternatif pemasok logam kritis.

Sebagai langkah antisipatif, NICL memperluas area pemasaran hingga ke Pulau Obi dan Halmahera, serta menjalin kemitraan strategis dengan smelter dan trader. Komposisi produk ore pun disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan perkembangan teknologi pemurnian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement