REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergerakan harga komoditas hortikultura terutama sayur mayur yang menjadi bahan pangan pokok masih terus berfluktuasi. Rantai distribusi dari hulu ke hilir dinilai tetap menjadi pangkal masalah yang masih belum terpecahkan.
Direktur Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Indonesia, Soekam Purwadi, menuturkan, beberapa komoditas strategis seperti kelompok cabai dan bawang menjadi salah satu komoditas yang perlu perhatian lebih. Menurut dia, produksi dari dua komoditas itu telah surplus, namun surplus produksi tidak terjadi secara berkelanjutan. Itu sebabnya harga di pasar tidak pernah stabil.
Menurut Soekam, kekacauan pada sistem distribusi lantara lemahnya kelembagaan petani. "Petani kecil kita sudah banyak lembaga tapi praktiknya tidak ada sehingga situasinya menjadi kacau, inflasi tinggi, lalu petani dan konsumen menjadi susah," kata Soekam dalam Focus Group Discussion di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (3/10).
Padahal, kelembagaan petani selain menyangkut sistem distribusi juga sistem pertanaman yang diterapkan petani. Dua hal itu berkaitan langsung dengan pergerakan harga komoditas hortikultura di pasar tradisional.
Sebagai contoh, harga terendah cabai rawit di pasar sebesar Rp 9.000 per kilogram (kg) namun harga tertinggi hingga Rp 90.000 per kg. Begitu pula harga terendah cabai merah besar dan keriting masing-masing hanya Rp 15 ribu dan Rp 9.000 per kg tapi harga tertinggi tembus Rp 90 ribu per kg dan Rp 70 ribu per kg.
Kondisi serupa dialami oleh bawang putih dan bawang merah. Harga terendah dua komoditas itu hanya Rp 17 ribu per kg dan Rp 9.000 per kg namun harga tertinggi mencapai Rp 70 ribu per kg dan Rp 45 ribu per kg.
"Ini karena pola tanam, jenis dan produksi, serta arah distribusi semua dilakukan secara alami. Akhirnya, harga yang terbentuk juga alami," kata Soekam.
Soekam menyarankan agar pemerintah saat ini fokus pada sistem distribusi komoditas hortikultura. Tak terkecuali cabai dan bawang yang menjadi salah satu bahan pangan penting di Indonesia.
Fakta di lapangan saat ini menunjukkan, sistem distribusi dari petani melalui pengepul dan bandar sebelum masuk ke pasar induk. Ke depan, rantai distribusi mesti dibenahi dengan dari petani langsung dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa Bersama atau koperasi petani sebelum akhirnya didistribusikan ke pasar induk.
Menurut dia, dengan pola itu harga komoditas akan lebih terkendali. Bumdesma atau Kopta juga dapat didorong untuk belajar melakukan pemasaran dan penjualan secara daring. Lebih jauh, pengelolaan sistem distribusi yang baik dapat mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor produk hortikultura.