REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memperkirakan lembaga sentralisasi kliring dan penjaminan untuk transaksi deriviatif suku bunga dan nilai tukar akan beroperasi pada 2023 mendatang. Adapun landasan hukum pembentukkan yang disebut Central Clearing Counterparty (CCP) ini akan mengacu pada Peraturan BI Nomor 21/11/2019 terkait transaksi derivatif melalui Over The Counter atau transaksi di luar bursa untuk suku bunga dan nilai tukar.
Kepala Pendalaman Pasar Keuangan Bank Indonesia Agusman mengatakan Indonesia membutuhkan jangka waktu 2,5 tahun untuk memvalidasi syarat yang diajukan untuk mendirikan CCP. Saat ini, sudah ada beberapa lembaga atau institusi yang berniat menjadi anggota CCP.
"Saya tidak berani sebut nama, tapi kalau mereka sudah siap ya sudah. Kurang lebih 2023 akan ada (CCP). Ini akan jadi sejarah di Republik ini," ujarnya di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (2/10).
CCP merupakan lembaga sentralisasi kliring transaksi derivatif yang menjadi rekomendasi pimpinan negara-negara G-20 untuk mencegah kembali terjadinya krisis keuangan seperti yang terjadi pada 2008. Maraknya transaksi derivatif ini menimbulkan risiko luar biasa, sehingga berpotensi menimbulkan kegagalan bayar dan efek rambatan terhadap stabilitas sistem keuangan global.
Maka itu negara-negara mengadopsi ketentuan pembentukkan CCP secara bertahap. CCP bisa dilakukan untuk komoditas, nilai tukar dan suku bunga.
Nantinya lembaga yang akan menjadi anggota CCP harus mengajukan izin prinsip secara tertulis kepada Bank Indonesia. Lembaga itu juga harus berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan Bank Indonesia akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan.
BI mengatur investor asing hanya boleh memiliki maksimum 49 persen saham dalam lembaga CCP. Sedangkan modal minimum yang disetor CCP adalah Rp 400 miliar.