Selasa 01 Oct 2019 00:24 WIB

Faisal Basri: Revisi UU KPK Bisa Picu Korupsi Besar-besaran

Menurut Faisal Basri, revisi terhadap UU KPK sebagai bagian dari korupsi politik.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andri Saubani
Pengamat Ekonomi Faisal Basri saat diskusi panel di Jakarta, Senin (23\11).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Pengamat Ekonomi Faisal Basri saat diskusi panel di Jakarta, Senin (23\11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) dinilai oleh lembaga riset ekonomi Indef dapat menyebabkan korupsi besar-besar di berbagai sektor, dan berpengaruh besar ke perekonomian. Menurut ekonom senior Indef, Faisal Basri, adanya revisi UU KPK yang membuat KPK dapat dikontrol oleh pemerintah, merupakan bagian dari korupsi politik.

"Korupsi politik adalah korupsi yang melibatkan pembuat keputusan politik dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimilikinya. Ini merambah ke segala penjuru," kata Faisal Basri dalam diskusi Indef di Jakarta, Senin (30/9).

Baca Juga

Dia menjelaskan, beberapa dari korupsi politik ini dapat mengakibatkan dana APBN diselewengkan, mulai dari proses di tingkat perencanaan. Lalu BUMN dijarah, dikerdilkan, dan diisi oleh petinggi-petinggi yang tidak kompeten. Selain itu, korupsi politik juga memungkinkan terjadinya jual-beli perizinan.

Kemudian, pembentukan Undang-undang yang menghamba kepada vested interest atau kelompok yang berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan pribadi. Akibatnya, kebijakan tidak mengutamakan kepentingan publik.

Praktik korupsi, kata Faisal, tidak akan membuat pembangunan menjadi sehat, berkualitas, dan berkelanjutan. Rencana pembangunan jangka panjang yang terukur tidak menjadi kepedulian koruptor. Yang mereka inginkan adalah meraup segala sumber daya secepat-cepatnya dan sebanyak mungkin untuk memperkokoh cengkeraman politiknya, demi memperbesar kekuatan logistik.

"Merekalah yang akan terus berjaya di panggung politik. Akibatnya, fondasi pembangunan rapuh, seperti itulah yang terjadi sekarang," jelas Faisal.

Saat ini, lanjutnya, investasi cukup banyak tetapi hasilnya hanya pertumbuhan sekitar 5 persen. Dia memaparkan, semua yang pemerintah bangun membutuhkan dana lebih besar, sekitar 50 persen lebih banyak ketimbang di negara-negara tetangga dan di masa Orde Baru sekalipun.

"Akhirnya untuk memacu pertumbuhan, tak ada pilihan lain kecuali berutang," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement