REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Minimnya tingkat konsumsi protein dari ayam nasional membuat sejumlah pihak mendorong pemerintah untuk saling berkoordinasi lintas-kementerian dan daerah guna mengatur program peningkatan konsumsi. Salah satunya cara adalah dengan mendorong promosi konsumsi ayam secara masif.
Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Indonesia (GPPU) Achmad Dawami menilai, saat ini tingkat konsumsi ayam Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Untuk itu dia mendorong pemerintah agar saling berkoordinasi baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk meningkatkan promosi konsumsi.
“Kita minta pemerintah buat suatu aturan agar konsumsi ayam ini meningkat, buat juga anggaran promosinya,” kata Achmad saat dihubungi Republika, Ahad (29/9).
Berdasarkan catatannya, tingkat konsumsi ayam di Indonesia masih minim yakni di angka 12-13 kilogram (kg) per kapita per tahun. Angka tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi ayam di Malaysia yang mencapai 38 kg per kapita per tahun.
Menurutnya, peningkatan konsumsi ayam ini juga dapat memacu penyerapan ayam peternak rakyat yang berlimpah. Seperti diketahui, dalam beberapa waktu terakhir Indonesia mengalami kondisi kelebihan pasokan ayam akibat suplai day old chicken (DOC) impor yang berlebih pada dua tahun lalu.
Kondisi ini membuat harga ayam peternak anjlok hingga hampir setahun terakhir. Untuk itu dia menilai, apabila peningkatan konsumsi dapat terealisasi dengan baik, maka dampaknya bakal menstabilisasi kembali harga ayam peternak. Lebih penting, menurut dia, akan terjadi keseimbangan yang berkelanjutan antara produksi dengan konsumsi secara nasional.
Dengan adanya anggaran promosi konsumsi ayam, kata dia, bakal ada pergerakan pandangan di masyarakat bahwa ayam juga merupakan level protein yang penting selain dari ikan. Anggaran promosi itu menurut dia bisa saja digunakan untuk kepentingan sosialisasi program konsumsi, promosi di media, hingga edukasi terhadap wilayah-wilayah yang belum banyak terakses akan pentingnya mengkonsumsi ayam.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, peningkatan konsumsi ayam akan lebih efisien apabila dilakukan di tingkat daerah. Sebab apabila peningkatan konsumsi dimasukkan dan digagas dari tingkat kementerian, dikhawatirkan yang akan kelimpahan manfaat dari program itu hanya masyarakat di kisaran wilayah Jabodetabek.
Padahal menurut dia, tingkat konsumsi ayam yang rendah umumnya masih terjadi di wilayah-wilayah pelosok dan pedalaman seperti Papua. Sehingga apabila program peningkatan konsumsi dapat dilangsungkan oleh pemerintah daerah (pemda), jangkauan sasarannya dapat lebih tepat.
“Kalau Pemda yang melangsungkan, itu lebih efisien saya rasa. Karena mereka (pemda) yang paling tahu wilayahnya yang mana saja yang belum terakses, dan kira-kira program seperti apa yang mampu melingkupi konsumsi itu,” kata Rusli.
Dia menambahkan, apabila program pemda dapat mengakomodasi peningkatan konsumsi ayam di daerah, terdapat beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Hal itu antara lain mengenai strukturisasi anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) dan juga urgensi pemerintah memasukkan ayam sebagai komoditas yang layak dibantu penyalurannya dibandingkan komoditas lain.
Misalnya, apabila peningkatan konsumsi ayam ini mau didorong dia menilai pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) perlu memasukkan data akurat dan juga pertimbangan logis pengajuan peningkatan ayam. Catatan lainnya adalah, apabila program tersebut terealisasi oleh Pemda, penambahan anggaran ke daerah perlu digagas dalam APBN-Perubahan di awal 2020 nanti.
“Takutnya kalau kita tiba-tiba pemerintah sangat condong ke ayam dan ke komoditas lain bakal dipertanyakan,” kata dia.
Di sisi lain dia menceritakan, dalam satu dekade lebih yang lalu, beberapa program pemerintah yang memasukkan nilai gizi dan protein juga pernah masuk ke sekolah-sekolah. Artinya, peningkatan konsumsi ayam saat ini juga bisa mengadopsi hal serupa namun dengan catatan harus dilandasi argumentasi yang kuat.