Ahad 29 Sep 2019 13:36 WIB

PLN Libatkan Pembiayaan Syariah dalam Percepatan PLN

Pemberian fasilitas pembiayaan syariah harus memakai perjanjian tertulis.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). (Ilustrasi)
Foto: PLN
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melibatkan lembaga keuangan syariah dalam rangka percepatan pembangunan proyek ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Keterlibatan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 135 Tahun 2019 tentang Perubahan atas PMK Nomor 130 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Beleid PMK 135/2019 diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 19 September 2019 diundangkan serta berlaku pada tanggal yang sama. Dalam abstrak yang dikutip Republika di Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kemenkeu, penambahan ini diberlakukan untuk menyempurnakan ketentuan mengenai pemberian dan pelaksanaan jaminan Pemerintah untuk penyediaan infrastruktur ketenagalistrikan.

Keterlibatan ini merupakan hal baru. Pada regulasi terdahulu, PMK Nomor 130/2016, Kemenkeu hanya menyebutkan lembaga keuangan sebagai pihak pemberian pinjaman kepada PT PLN. Tapi, dalam beleid terbaru, PMK 135/2019, Kemenkeu mencantumkan pemberi fasilitas pembiayaan syariah dapat menyediakan pembiayaan syariah kepada PLN.

Pemberian fasilitas pembiayaan syariah harus memakai perjanjian tertulis terlebih dahulu antara pemberi fasilitas dengan PLN. Perjanjian ini disebut dengan perjanjian pembiayaan, berbeda dengan kredit konvensional yang mengenal sebutan perjanjian pinjaman. Tapi, skema yang diterapkan masih sama, yaitu swakelola.

Perjanjian antara pemberi fasilitas pembiayaan syariah dengan PLN juga harus menyertakan imbalan. "Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa imbal hasil, bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain yang sejenis sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan," tulis Sri dalam PMK 135/2019.

Selain menambahkan partisipasi pembiayaan syariah, PMK 135/2019 menghapuskan sejumlah poin. Salah satunya, ayat (3) Pasal 13 yang menyebutkan, anggaran kewajiban penjaminan pemerintah merupakan bagian dari pos pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal 14 juga sepenuhnya dihapus. Pasal ini menuliskan, Menteri selaku pengguna Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah menunjuk Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PPR) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Di sisi lain, Kemenkeu memperjelas kewajiban PLN untuk membuat dokumen rencana mitigasi risiko dalam ayat (2a) Pasal 21. Dokumen tersebut memuat dua ketentuan, yaitu upaya terbaik PLN untuk memenuhi kewajiban finansial dan rencan aksi PLN untuk mencegah terjadinya gagal bayar. Dokumen ini harus disamapaikan kepada Dirjen PPR paling lambat enam bulan setelah surat jaminan diterbitkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement