Ahad 29 Sep 2019 11:44 WIB

YLKI Sarankan Pemerintah Buat Aturan Khusus Jastip

Saat ini jastip masih mengikuti regulasi ekspor-impor yang dinilai tak relevan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nur Aini
Jumpa pers tentang kegiatan penertiban impor barang bawaan penumpang jasa titip (jastip) di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta Timur, Jumat (27/9).
Foto: Bea Cukai
Jumpa pers tentang kegiatan penertiban impor barang bawaan penumpang jasa titip (jastip) di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta Timur, Jumat (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan untuk membuat regulasi khusus bisnis jasa titipan atau jastip. Konsumen dan penyedia jasa memerlukan petunjuk teknis khusus yang lebih detail serta sosialisasi yang komprehensif.

Sekretaris YLKI, Agus Suyatno, mengatakan, sejauh ini usaha jastip masih mengikuti regulasi ekspor-impor yang ada. Padahal, regulasi tersebut relevan untuk kegiatan ekspor-impor produk antar-negara dalam jumlah besar. Barang yang diperdagangkan juga atas nama korporasi.  

Baca Juga

"Ini penting bagi kelangsungan bisnis jastip dan penting bagi konsumen. Bagaimanapun, pemerintah tidak bisa hilangkan jastip sama sekali karena ini kebutuhan. Ada supply demand," kata Agus saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (29/8).

Tersedianya regulasi khusus sekaligus mempersempit ruang gerak oknum penyedia jasa jastip yang bisa merugikan konsumen. Mekanisme perpajakan perlu diatur tanpa merugikan bisnis jastip maupun produk-produk dalam negeri. YLKI menilai pemerintah harus menghitung kembali untung-rugi di bisnis jastip agar instrumen kebijakan bisa tepat.

Menurutnya, pengenaan pajak dan bea masuk untuk produk yang dibeli lewat jastip memang harus dikenakan. Tapi, menurut Agus, instrumen fiskal tersebut perlu ada kekhususan karena jastip bukan niaga ekspor-impor melalui kontainer yang dibeli oleh korporasi. Jastip juga muncul karena rata-rata barang yang dipesan konsumen tidak ditemukan di Indonesia.

Di sisi lain, yang tak kalah penting adalah soal perlindungan konsumen jastip. Hubungan antara konsumen dan penyedia jasa mesti memiliki mekanisme yang jelas sehingga potensi penipuan bisa dicegah. Soal ini, masyarakat harus mendapatkan edukasi dini yang lengkap.

"Konsumen perlu mendapatkan haknya untuk menggunakan jastip tapi juga harus dilindungi. Saat ini masih ada kekosongan soal itu," kata Agus.

Perlindungan Produk Lokal

Agus mengatakan, dukungan terhadap bisnis jastip bukan berarti mengesampingkan produk lokal. Justru, dengan mekanisme yang tepat, bisnis jastip, ekspor-impor, maupun perdagangan barang di dalam negeri bisa berjalan selaras. Sebaiknya, barang-barang yang bisa dibeli lewat jastip merupakan barang yang tidak terdapat di Indonesia.

Menurut dia, konsumen individu wajib diberikan edukasi untuk mengutamakan barang lokal sebagai dukungan bagi keberlangsungkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini. "Jika barang tidak ada di dalam negeri okelah, tapi kalau ada, nah ini perlu diberdayakan," ujar Agus.

Produk jastip diminta tidak sampai mengabaikan keberadaan produk dalam negeri yang kualitasnya juga tak kalah. Dalam jangka pendek, jastip memang tidak memberikan dampak negatif karena pembeliannya yang dalam volume kecil. Tapi, tanpa kontrol yang tepat, jastip bakal mematikan keberadaan barang dalam negeri.

Pada akhir pekan ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kemenkeu, Heru Pambudi menyampaikan, jastip masih menjadi cara favorit bagi masyarakat Indonesia membeli barang tanpa harus bepergian ke luar negeri. Namun, kata dia, metode seperti itu justru kerap disalahgunakan pada pelaku jastip dengan membawa barang melebihi ketentuan yang berlaku.

"Hingga 25 September 2019, Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta telah melakukan penindakan terhadap 422 kasus pelaku pelanggaran terhadap para pelaku jastip," ujar Heru saat jumpa pers tentang kegiatan penertiban jasa titip  di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta Timur, Jumat (27/9) lalu.

Heru menjelaskan, dari 422 kasus tersebut, penerbangan yang paling sering digunakan pelaku jastip meliputi Guanzhou-Cina, Bangkok-Thailand, Singapura, Hong Kong, Abu Dhabi-UEA, dan Australia. Heru menyebut, 75 persen kasus jastip didominasi barang-barang seperti pakaian, tas, dan sepatu yang biasanya memiliki nilai tinggi.

"Barang-barang jastip yang berhasil diamankan biasanya pakaian, sepatu, perhiasan, terutama handphone keluaran terbaru yang di sini belum ada, ada juga kosmetik tapi jumlahnya nggak terlalu banyak," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement