REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) meragukan swasembada garam pada 2021 bisa tercapai tanpa ada upaya menggenjot produksi garam nasional. “Kalau 2021 mau swasembada garam, saya tidak yakin karena mau tidak mau kita harus impor,” kata Chairwoman CIPS Saidah Sakwan dalam diskusi Food Security Forum on Salt di Jakarta, Selasa (24/9).
Saidah menuturkan berdasarkan data yang ada, kebutuhan garam nasional, baik untuk konsumsi dan industri, mencapai 4,7 juta ton pada 2019. Sementara itu, produksi nasional baru sebesar 2,7 juta ton.
Artinya, ada selisih 2 juta ton garam yang harus dipenuhi dengan impor. “Ada gap besar ketika mau swasembada,” katanya.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu mengatakan diksi impor juga harus dilihat apakah akan mengganggu kebijakan swasembada. Pasalnya, jika tidak mau ada impor, peningkatan produksi garam di on farm mutlak dilakukan.
“Kalau mau swasembada 4,7 juta ton, on farm kita butuh lahan 49 ribu-50 ribu hektare. Padahal lahan yang ada, punya PT Garam hanya 5 ribu hektare dan punya rakyat hanya 30 ribu hektare. Kita masih punya gap 15 ribu hektare,” katanya.
Lebih lanjut, Saidah mengatakan impor garam kemungkinan masih akan tetap dilakukan karena penyerapan terbesarnya oleh industri. Mulai dari industri kimia (46 persen), pakan ternak (13 persen) serta aneka pangan (12 persen).
“Artinya, kalau pemerintah mau barrier impor, dampaknya ke industri dalam negeri juga besar. Karena itu harus ada kebijakan yang menguntungkan dua pihak, yaitu bagi petani garam dan industri,” kata Saidah.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa Indonesia harus sudah bisa memenuhi sendiri kebutuhan garamnya tanpa adanya impor pada 2021.
“2021 kita tidak impor. 2020 ini kita selesaikan semua, ya kalau bisa lebih cepat lebih bagus,” katanya pada Juli lalu.