Rabu 18 Sep 2019 09:55 WIB

Gaprindo Sebut Kenaikan Cukai Picu Rokok Ilegal

Gaprindo berharap pemerintah mau berdiskusi dengan pelaku industri.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Satria K Yudha
Bea Cukai Ketapang memusnahkan rokok dan miras ilegal hasil penindakan tahun 2018 pada Rabu (17/7).
Foto: Bea cukai
Bea Cukai Ketapang memusnahkan rokok dan miras ilegal hasil penindakan tahun 2018 pada Rabu (17/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen pada 2020 akan merugikan industri. Menurut Gaprindo, kebijakan tersebut dapat memicu pertumbuhan rokok ilegal. 

Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie mengatakan industri rokok mengalami tren yang stagnan, bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Dia menyebut, pertumbuhan produksi sejak 2016 minus sekitar dua persen. 

"Kami melihat kecenderungan pasar yang kian sensitif terhadap harga. Mayoritas konsumen lebih memilih rokok-rokok  dengan kisaran harga Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. Kenaikan cukai dan HJE berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal," kata Moeftie, Selasa (17/9). 

Moefti mengambil contoh dengan yang pernah terjadi di Malaysia. Pada 2015, Pemerintah Malaysia menaikkan cukai rokok sekitar 43 persen dan mengakibatkan rokok ilegal meningkat hingga 60 persen.

"Akibatnya, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam," ujar dia. 

Ia menambahkan, hal lain yang harus menjadi bahan pertimbangan adalah penghidupan petani tembakau, petani cengkeh, dan para pekerja di industri ini yang jumlahnya mencapai jutaan orang. Bagi petani, kata dia, cukai yang kian tinggi dan penjualan yang menurun menyebabkan kebutuhan bahan baku berkurang. 

"Para petani akan merugi karena tembakau serta cengkeh yang mereka hasilkan tidak terserap. Bagi para pekerja, penurunan volume produksi berarti potensi PHK," katanya. 

Ia berpandangan, menaikkan tarif cukai dan HJE secara drastis belum tentu memiliki dampak terhadap tujuan yang ingin dicapai, yaitu penurunan prevalensi perokok, terutama kalangan anak dan perempuan. 

Muhaimin menyebutkan secara keseluruhan prevalensi merokok menunjukkan tren menurun, yaitu dari 36,3 persen pada riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013 menjadi 33,8 persen pada riskesdas 2018.

"Kami berharap pemerintah mau berdiskusi tentang upaya bersama mendorong pengendalian konsumsi rokok tanpa melakukan langkah ekstrem," katanya. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement