Selasa 17 Sep 2019 01:14 WIB

Ekspor Stagnan, Industri Tekstil Tuntut Perbaikan Eksostem

Terlalu banyak perizinan yang mesti diurus saat ingin berincestasi.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Karyawan menata gulungan kain tekstil di toko mutiara textile, Pasar Minggu, Jakarta,Jumat(7/12).
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan menata gulungan kain tekstil di toko mutiara textile, Pasar Minggu, Jakarta,Jumat(7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menuntut pemerintah melakukan perbaikan eksosistem usaha. Hal ini disampaikan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Senin (16/9) siang. Turunnya kinerja ekspor tekstil dan produk tekstil pada kuartal kedua 2019 sebesar 0,6 persen dibanding periode tahun lalu juga menjadi fokus pembicaraan antara Presiden Jokowi dan pelaku usaha.

"Maka untuk bisa tumbuh dan berkembang, perlu diperbaiki ekosistemnya yang tentang perdagangan, pertanahan, perizinan, segala macam disampaikan. Kita sudah submit juga peraturan yang kira-kira atau ini yang menjadi momok bagi investor," kata Ketua API Ade Sudrajat di Istana Negara, Senin (16/9).

Ade mengungkapkan, ekosistem industri tekstil dan produk tekstil memang perlu perbaikan menyeluruh. Misalnya, kemudahan bagi investor untuk membangun usaha baru di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa ada terlalu banyak perizinan yang mesti diurus oleh investor saat membuka usahanya di Tanah Air. Bahkan, ujar dia, rekomendasi dari pihak berwenang hingga keputusan kepala desa saja dijadikan perizinan.

"Bahkan Perpres sangat lemah dibandingkan dengan Keputusan Kepala Desa. Kepdes lebih powerful karena ditungguin sama lurahnya di depan pabrik," ujar Ade.

Meski demikian, Ade optimistis bahwa industri dalam negeri masih bisa bersaing dengan pesatnya industri serupa di negara tetangga, seperti Vietnam dan Bangladesh yang memiliki nilai ekspor 85 miliar dolar AS. Menurut Ade, Indonesia dengan modal jumlah penduduk yang jauh lebih besar ketimbang Vietnam dan Bangladesh memiliki potensi besar untuk terus tumbuh.

Pelaku usaha juga menuntut adanya safeguard yang bisa melindungi komoditas tekstil dan produk tekstil dalam negeri dari gempuran produk impor, terutama asal Cina. Adanya perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat (AS) membuat produsen Cina mencari pasar-pasar alternatif, salah satunya Indonesia.

Selain itu, perbaikan ekosistem industri tekstil dan produk tekstil juga dilakukan melalui harmonisasi tarif dari hulu ke hilir. Produsen tekstil dan produk tekstil dalam negeri merasa keberatan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea masuk untuk produk TPT dari bahan lokal yang bisa menyentuh 15 persen. Hal ini berbeda dengan bahan baku hasil impor yang dikenalan bea masuk nol persen karena ada kebijakan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

"Untuk kain jadi dan garmen nol persen, sedangkan hulunya ada bea masuk 50 persen bahkan ditambah dengan anti dumping 9 persem, bisa ada yang menjadi 15 ada yg menjadi 20, macam-macam," katanya.

Pada prinsipnya, pelaku usaha meminta adanya kesamaan perlakuan tarif antara bahan baku impor dan bahan baku lokal. Bahkan Ade menyebut, bila ada Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, maka harus dibuat pula Kemudahan Lokal Tujuan Ekpsor. Pemerintah, ujar dia, harus berpihak pada produsen yang benar-benar memanfaatkan bahan baku lokal.

"Harmonisasi tarif yg diusulkan adalah kalau dari menperin, secara tegas di hulunya, serat misalnya dan fiber, bisa nol persen. Di bawahnya lagi 5 persen. Kainnya 8 persen, garmen 12 persen, semuanya seperti piramida. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement