Senin 16 Sep 2019 13:31 WIB

Impor Bahan Baku dan Barang Modal Turun pada Bulan Lalu

Penurunan kinerja terjadi pada tiga golongan penggunaan barang, seperti konsumsi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (tengah) saat memaparkan kinerja neraca dagang di kantornya, Jakarta, Senin (16/9).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (tengah) saat memaparkan kinerja neraca dagang di kantornya, Jakarta, Senin (16/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja impor Indonesia pada Agustus 2019 yang mencapai 14,20 miliar dolar AS mengalami kontraksi. Apabila dibanding dengan Juli 2019, nilainya turun 8,53 persen dari 15,5 miliar dolar AS. Penurunan lebih tajam terlihat jika dibandingkan Agustus 2018 yang sebesar 16,8 miliar dolar AS. 

Penurunan kinerja impor tersebut tidak serta merta membuat neraca dagang lebih berkualitas. Sebab, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, kinerja ekspor pada Agustus juga mengalami kontraksi. 

Baca Juga

"Dari sisi nilai, neraca dagang Agustus menghasilkan surplus 85,1 juta dolar AS,"  ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (16/9). 

Dilihat menurut penggunaan barang, Suhariyanto mengatakan, penurunan kinerja impor terjadi pada tiga golongan penggunaan barang. Untuk barang konsumsi, penurunannya mencapai 6,71 persen apabila dibanding dengan Juli 2019, yaitu dari 1,46 miliar dolar AS menjadi 1,36 miliar dolar AS. Penurunan lebih dalam terjadi apabila dibandingkan Agustus 2018 yang mencapai 1,5 miliar dolar AS. 

Suhariyanto mengatakan, ada beberapa komoditas dalam golongan barang konsumsi yang menurun tajam. Di antaranya, bawang putih yang biasa diimpor dari Cina. dan vaksin untuk pengobatan manusia. 

Sementara itu, bahan baku/penolong juga turun 8,17 persen dibanding dengan Juli 2019, dari 11,2 miliar dolar AS menjadi 10,3 miliar dolar AS. Kontraksi lebih dalam terlihat secara tahunan dari Agustus 2018 yang mencapai 12,6 miliar dolar AS. 

Suhariyanto menjelaskan, kontraksi tersebut disebabkan adanya penurunan sejumlah komoditas. Di antaranya katun dari Amerika Serikat dan beberapa jenis baja. 

"Prime steel yang biasa kita impor dari Uni Emirat Arab juga turun," tuturnya. 

Secara bulanan, kontraksi paling dalam dirasakan barang modal, yaitu sampai 10,93 persen. Pada Juli 2019, nilai impornya adalah 2,7 miliar dolar AS menjadi 2,4 miliar dolar AS pada Agustus 2019. Sedangkan, pada Agustus 2018, nilainya mencapai 2,6 miliar dolar AS. Beberapa komoditas yang turun adalah inverter untuk listrik.

Golongan barang mesin/peralatan listrik yang masih termasuk dalam barang modal juga menghadapi kontraksi. Nilai impor pada Agustus 2019 adalah 1,6 miliar dolar AS, atau turun 8,6 persen dibanding dengan Juli 2019 yang mencapai 1,8 miliar dolar AS. 

Suhariiyanto menuturkan, pemerintah harus memperhatikan penurunan impor pada barang modal dan bahan baku. Sebab, kontraksi sejumlah barang dalam dua kelompok tersebut dapat berdampak negatif terhadap industri pengolahan yang sedang mengalami perlambatan. 

"Kita udah melihat pertumbuhan manufaktur kemarin (Juli) menurun tajam," ucapnya. 

Secara total, nilai impor periode Januari sampai Agustus sudah mencapai 111,88 dolar AS. Nilai tersebut turun dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 124,1 miliar dolar AS atau turun 9,89 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement