Ahad 15 Sep 2019 12:51 WIB

Indef: Pengawasan Label Halal di Lapangan Perlu Diperkuat

Impor dari Brasil diimbau lebih ke pangan hasil olahan sehingga tak merugikan UMKM.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Warga berbelanja daging ayam pada hari pertama perayaan tradisi meugang menyambut Idul Adha 1440 Hijriyah di pasar tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Jumat (9/8/2019).
Foto: Antara/Ampelsa
Warga berbelanja daging ayam pada hari pertama perayaan tradisi meugang menyambut Idul Adha 1440 Hijriyah di pasar tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Jumat (9/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyebutkan, pengawasan di lapangan menjadi kunci utama untuk memastikan label halal tetap diberlakukan dalam produk impor hewan. Hal ini seiring dengan ‘hilangnya’ ketentuan wajib label halal dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29/2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan.

Meski tidak tercantum dalam regulasi Kemendag, Rusli menjelaskan, kewajiban tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/ atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. "Jadi, sekarang tanggung jawab besarnya ada di Kementerian Pertanian," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (15/9).

Baca Juga

Dalam Permentan 23/2018, Rusli mengatakan, Kementan mengeluarkan sejumlah persyaratan rekomendasi kepada para improtir. Salah satunya, memenuhi persyaratan halal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal. Syarat ini dapat dibuktikan dengan sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga berwenang.

Dengan ketentuan tersebut, Rusli menyebutkan, pemerintah sudah memiliki kekuatan penuh untuk mewajibkan para importir mencantumkan label halal dalam tiap produk hewan. Ketentuan ini juga diperkuat dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Hanya saja, Rusli menekankan, pemerintah tetap harus memastikan agar pengawasan di lapangan tidak lalai. Termasuk, mencegah kemungkinan daging dari suatu negara bercampur dengan negara lain. 

"Ini yang perlu diwaspadai," katanya.

Kehadiran Permendag 29/2019 disebut-sebut merupakan salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengakomodasi permintaan Brasil mengenai importasi ayam. Hal ini dilakukan pascakekalahan Indonesia dengan Brasil di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO).

Rusli menilai, langkah tersebut menunjukkan bahwa diplomasi perdagangan internasional Indonesia masih harus diperkuat. Pemerintah, terutama Kemendag, harus meningkatkan kualitas diplomasi dari sisi sumber daya manusia (SDM) maupun pembahasan di tingkat internasional.

Di sisi lain, Rusli menambahkan, pemerintah juga harus memastikan produksi dalam negeri tidak terpukul. Sebab, dengan kalah di WTO, Indonesia tidak punya alasan lagi untuk menolak produk hewan dari Brasil. "Jangan sampai, kehadiran komoditas impor ini mengambil pasar peternak lokal," katanya.

Salah satu langkah yang dianjurkan Rusli adalah memisahkan pasar antara produksi peternak lokal dengan produk impor Brasil. Misal, produk hewan asal Brasil diarahkan untuk industri pengolahan makanan berskala besar. Sedangkan, produksi peternak lokal dapat masuk ke pasar konsumen ataupun untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Dengan pemisahan pasar tersebut, Rusli menilai, Indonesia memiliki potensi tambahan untuk ekspor. Jadi, hasil pengolahan makanan yang menggunakan bahan baku produk hewan dari Brasil diolah di Indonesia, kemudian diekspor ke negara lain. "Bisa dalam bentuk sosis atau nugget," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement