REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak naik tipis pada akhir perdagangan Jumat (13/9)). Namun, harga minyak menunjukkan tren penurunan dalam sepekan karena kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi global yang lebih lambat melebihi petunjuk kemajuan dalam sengketa perdagangan AS-Cina.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November turun 0,16 dolar AS menjadi ditutup pada 60,22 dolar AS per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun 0,24 dolar AS menjadi menetap di 54,85 dolar AS per barel.
Brent turun 2,1 persen untuk pekan ini, penurunan pertama dalam lima pekan. WTI kehilangan sekitar tiga persen dalam seminggu.
Dua negara ekonomi terbesar di dunia telah melakukan gerakan perdamaian saat mereka bersiap untuk pembicaraan baru. Cina akan membebaskan beberapa produk pertanian AS dari tarif tambahan, kata kantor berita resmi China, Xinhua.
Namun demikian, harga minyak tetap di bawah tekanan oleh kekhawatiran tentang prospek permintaan yang lebih lemah. "Harga minyak tampaknya menunjukkan pertumbuhan ekonomi global telah dipengaruhi oleh tarif, sementara pasar lainnya seperti ekuitas tampaknya lebih fokus pada kemajuan masa depan," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, dalam sebuah catatan.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Badan Energi Internasional (IEA) minggu ini mengatakan pasar minyak bisa berakhir dalam surplus tahun depan, meskipun ada pakta oleh OPEC dan sekutunya untuk membatasi pasokan yang sebagian besar diimbangi dengan pertumbuhan produksi AS. Perusahaan energi AS minggu ini mengurangi jumlah rig minyak yang beroperasi selama empat minggu berturut-turut.
Harga Brent telah meningkat sekitar 12 persen pada tahun ini. Kenaikan ini dibantu oleh kesepakatan antara OPEC dan sekutu, yang dikenal sebagai OPEC+, untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari.