Kamis 12 Sep 2019 17:39 WIB

Potensi Hilirisasi Nikel Indonesia Capai 34 Miliar Dolar AS

Nilai ekspor nikel Indonesia saat ini sudah di angka 10 miliar dolar AS.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, belum lama ini.
Foto: FOTO: Antara/Basri Marzuki
Sebuah dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, belum lama ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memperkirakan, potensi hilirisasi nikel sampai dengan 2024 dapat mencapai 34 miliar dolar AS. Potensi tersebut dapat dicapai melalui pengolahan nikel di dalam negeri menjadi baterai lithium dan daur ulang lithium.

Saat ini, Luhut menyebutkan, Indonesia baru mengekspor berupa bahan baku mentah ke Cina. Sektiar 98 persen dari total produksi nikel dalam negeri itu langsung dikirim ke luar negeri tanpa diolah terlebih dahulu.

Baca Juga

Padahal, apabila diolah sendiri, ekspor tersebut akan mendorong  penerimaan negara yang lebih besar. Sebab, akan ada nilai tambah yang bisa didapatkan ke industri manufaktur dan tenaga kerja Indonesia.

"Kalau diproduksi dalam negeri dengan listrik, dapat lebih murah," ujarnya ketika ditemui usai diskusi dan peluncuran buku di Jakarta, Kamis (12/9).

Luhut mencatat, besaran nilai ekspor nikel saat ini sudah di angka 10 miliar dolar AS. Artinya, masih ada 24 miliar dolar AS yang dapat dioptimalkan. Tidak menutup kemungkinan nilai tersebut dapat meningkat apabila bahan baku nikel diolah di dalam negeri.

Di sisi lain, Luhut menambahkan, upaya hilirisasi nikel dapat menjadi daya tarik tambahan bagi para investor yang berminat ke Indonesia. Khususnya untuk melakukan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI). Dengan begitu, isu defisit neraca dagang yang selalu jadi permasalahan di Indonesia dapat membaik.

Tidak hanya nikel, pemerintah juga berupaya melakukan hilirisasi timah dan bauksit setelah 2024. Upaya ini sejalan dengan program prioritas pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur mobil listrik.

"Nantinya, dapat memakai semua komponen dalam negeri, dari nikel dan turunannya. Bannya dari produksi karet dalam negeri, baterai juga diproduksi domestik," kata Luhut.

Ia mengakui, melakukan hilirisasi memang tidaklah mudah. Indonesia harus keluar dari zona nyaman yang selama ini terlena mengekspor bahan mentah saja. Dampaknya, nilai tambah yang didapatkan di Indonesia cenderung minim.

Luhut menyebutkan, memang harus ada pengorbanan lebih untuk melakukan hilirisasi. Tapi, ini akan ‘terobati’ dalam jangka waktu panjang mengingat potensi nilai tambah dan multiplier effect yang besar. "Setelah beberapa tahun, akan ada nilai tambahnya," ucapnya.

Untuk memaksimalkan hilirisasi, Luhut menambahkan, pemerintah juga berupaya mencari FDI. Sampai saat ini, pemerintah sudah melakukan pendekatan terhadap sejumlah investor untuk memaksimalkan hilirisasi bauksit di dalam negeri. Di antaranya dengan Cina dan Jepang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement