Rabu 11 Sep 2019 17:35 WIB

Pertumbuhan Industri Hulu Tekstil Terancam Negatif

Tahun ini diperkirakan industri hulu tekstil akan minus 3 hingga 4 persen.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pabrik tekstil, ilustrasi
Foto: Sony Soemarsono/Republika
Pabrik tekstil, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) memperkirakan pertumbuhan di sektor hulu industri tekstil bakal negatif. Hal itu menyusul serbuan impor produk teksil yang masuk ke dalam negeri pada tahun ini. 

Sekretaris Jenderal Apsyfi, Redma Gita Wirawasta, mengatakan, pertumbuhan konsumsi sepanjang semester I 2019 sekitar 5 persen. Dimana, tekstil menjadi salah satu objek konsumsi masyarakat yang terbesar. Namun, tingginya konsumsi tekstil di tingkat konsumen tidak dirasakan para produsen lokal akibat impor yang mendominasi.

Baca Juga

Pada kuartal I 2019, Apsyfi mencatat pertumbuhan masih berada pada kisaran 1 persen. Kondisi kuartal II kemudian mengalami pelemahan dan dipastikan berlanjut hingga kuartal III dan IV.

Pelemahan pertumbuhan tahun ini melanjutkan tren yang terus menurun sejak 10 tahun terakhir. "Tahun ini kelihatannya akan minus 3 hingga 4 persen. Kita tanya beberapa anggota suasana pasca lebaran (produksi) susah naik. Investasi juga tidak ada," kata Redma saat ditemui di Jakarta, Rabu (11/9).

Dia menjelaskan, pada tahun lalu, industri serat dan benang filamen bisa tumbuh sekitar 5 persen. Situasi yang drastis berbalik itu murni karena industri lokal yang kalah saing dari produk impor. Terutama, dari sisi persaingan harga.

Besarnya impor tekstil dan produk tekstil saat ini merupakan dampak dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Beleid itu memperbolehkan pedagang pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) melakukan importasi kain, benang, dan serat.

Di satu sisi, impor produk tekstil di level midstream dan hilir juga makin besar. Hal itu secara langsung menekan angka produksi dan menahan permintaan bahan baku ke sektor hulu. Redma mengatakan, impor tekstil dan produk tekstil yang sudah tinggi jadi makin tinggi.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina juga ikut memberikan dampak. Indonesia, menurut Redma menjadi sasaran alternatif pasar produk tekstil dari Cina yang setelah AS mempersulit lewat kebijakan bea masuk.

"Selama 10 tahun terakhir kita terus melemah dan perang dagang mempercepat tren penurunan itu," ujarnya.

Ia pun mengaku, dari 22 anggota produsen serat dan benang filamen, empat perusahaan diantaranya telah mengurangi produksi. Jika diakumulasikan, total pengurangan produksi dari empat perusahaan itu sekitar 100 ribu ton.

Sementara ini, Redma mengatakan industri hulu tekstil berharap pada penjualan ekspor. Ia memperkirakan ekspor bahan baku tekstil tahun ini bisa tumbuh positif.

"Kita masih bisa ekspor tapi memang tidak terlalu bagus. Sementara di lokal memang permintaan yang turun. Bukan karena permintaan konsumen yang turun, tapi produk impor yang memenuhi," paparnya.

Karenanya, Apsyfi meminta pemerintah berani melakukan penyetopan impor tekstil dan produk tekstil. Dimulai dari bahan baku hingga produk jadi selama tiga tahun ke depan. Permendag Nomor 64 Tahun 2017 harus segera direvisi dibarengi dengan penindakan hukum terhadap perusahaan importir bodong yang tak punya izin.

Pemerintah baru saja menyatakan akan memberikan kebijakan pengamanan atau safeguard bagi industri tekstil dan produk tekstil. Redma meminta kepada peemrintah untuk serius memperhatikan sektor pertekstilan.

Kunci dari upaya perlindungan dari sektor industri ini yakni membendung impor secara total. Dengan begitu, sektor pertekstilan dari hulu ke hilir memiliki kesempatan untuk berbenah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement