Kamis 31 Oct 2019 05:30 WIB

Tarif Safeguard dan Antidumping Tunggu Sri Mulyani

Rencana penengaan tarif safeguard telah dirancang pemerintah sejak sebulan terakhir.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja menyelesaikan jahitan pesanan pelanggan di kawasan Tambora, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin tertekan akibat gempuran produk impor dari China, rendahnya penyerapan pasar dan lemahnya kebijakan dalam melindungi pelaku industri dalam negeri.
Foto: ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Pekerja menyelesaikan jahitan pesanan pelanggan di kawasan Tambora, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin tertekan akibat gempuran produk impor dari China, rendahnya penyerapan pasar dan lemahnya kebijakan dalam melindungi pelaku industri dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah telah merampungkan tarif kebijakan tindakan pengamanan atau safeguard dan antidumping. Meski meleset dari target yang ditetapkan, finalisasi tarif safeguard tersebut baru dapat dibuka ke publik sambil menunggu putusan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri menyatakan, tarif safeguard yang ditentukan Kemendag memang telah final. Hanya saja hal itu perlu ditindaklanjuti di Kementerian Keuangan (Keuangan) untuk ditetapkan secara baku.

Baca Juga

“Kita tunggu Kemenkeu. Saya belum bisa buka (soal tarif). Mudah-mudahan akhir tahun ini (keluar), tunggu Ibu Sri Mulyani,” kata Kasan kepada wartawan, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (30/10).

Rencana penengaan tarif safeguard telah dirancang pemerintah sejak satu bulan terakhir. Rancangan tersebut diusulkan dan diajukan kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kemendag untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Usai KPPI menyerahkan hasil investigasi dan rekomendasi safeguard kepada dewan Pertimbangan Kepentingan Nasional (PKN) yang dipimpin BP3 Kemendag, proses selanjutnya bergulir di Kemenkeu.

Sebelumnya Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) merekomendasikan besaran tarif untuk masing-masing produk yang berbeda. Produk fiber dikenakan bea masuk tambahan sebesar 2,5 persen, produk kain 7 persen, benang 5-6 persen, dan garmen 15-18 persen.

Keberadaan tarif safeguard tekstil digadang-gadang bakal melindungi produk tekstil dalam negeri dari serbuan produk impor sejak tiga tahun terakhir. Terlebih safeguard dinilai tak melanggar ketentuan perdagangan yang berlaku di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organisastion (WTO).

Kinerja industri tekstil terkoreksi tajam mulai 2016 hingga kuartal II 2019. Hal ini seiring dengan meningkatnya impor tekstil yang terus membanjiri sehingga membuat industri tekstil dalam negeri berguguran karena tak mampu melawan tarif impor yang jauh lebih murah.

Kasan menjabarkan bahwa kehadiran tarif safeguard dapat menekan impor tekstil. “Ya lumayan (bisa menekan). Saya enggak hapal berapa hitungannya, (karena) dihitung berdasarkan volume, bukan nilai,” ungkapnya.

Kemelut industri tekstil

Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (Ikatsi) Suharno menyampaikan, kapasitas produksi tekstil dalam negeri masih sangat rendah. Mulai dari produksi pembuatan benang hingga spinning, jika dirata-rata menurutnya kapasitas produksi industri hanya mencapai 50 persen.

“Kapasitas industri kita masih sangat rendah,” kata Suharno.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, kapasitas produksi tekstil Indonesia pasca-banjirnya tekstil impor sangat kontras. Dia mencatat, kapasitas produksi tekstil di negara-negara yang masih memberlakukan impor tekstil masih bertumbuh, seperti Vietnam sebesar 70-80 persen dan Bangladesh sebesar 80-84 persen.

Selain banjirnya impor tekstil, menurut dia pemerintah juga lalai dalam melakukan vokasi terhadap sektor industri tekstil. Ke depan dia meminta pemerintah juga melindungi ekosistem industri tekstil dengan melakukan penguatan di bidang sumber daya manusia (SDM).

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyampaikan, terdapat sejumlah kemelut di sektor industri tekstil lokal. Permasalahan itu antara lain masifnya mesin industri tua di pabrik, serbuan produk impor tekstil, harga produk tekstil Indonesia yang kurang kompetitif, kinerja perdagangan produk kain yang terus defisit, pertumbuhan ekspor yang jomplang dengan ekspor garmen, dan pertumbuhan konsumsi yang direbut impor.

“Kinerja perdagangan kain terus defisit, gap-nya tinggi sekali,” kata Esther.

Berdasarkan grafik Indef, rata-rata pertumbuhan kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dalam 10 tahun terakhir mengalami defisit. Ekspor tercatat sebesar 3 persen sedangkan impor membukukan 10,4 persen.

Neraca dagang terus tergerus dari sebelumya 6,08 miliar dolar AS anjlok menjai 3,2 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement