REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan penyederhanaan (simplifikasi) cukai tembakau perlu dilihat secara holistik. Pakar ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan kebijakan ini perlu dilihat dari banyak aspek.
Tak hanya melihat industrinya saja, tapi juga dari sisi hulunya, tenaga kerja, pendapatan asli daerah, dan pemerintah daerah. Saat ini sekitar 70 persen pemerintah daerah sangat tergantung kepada transfer dari pemerintah pusat. "Salah satunya dari dana bagi hasil cukai tembakau atau DBHCT," ujar dia di Jakarta, Rabu (11/9).
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unibraw ini mengatakan bila ada perubahan kebijakan di bidang penarikan cukai, maka itu memengaruhi pendapatan cukai. Dikarenakan, ada perubahan sistem penarikan atau simplifikasi. "Itu bisa berbahaya bagi daerah karena pembangunan dan daerah bisa terbengkalai," katanya.
Mantan ketua dekan Fakultas Ekonomi Bisnis perguruan tinggi negeri se-Indonesia ini menyatakan, sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas PMK 156/2018 ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai.
“Dengan pengelompokan yang ada sekarang, hingga bulan Juli 2019, target cukai tembakau dari 159 triliun sudah tercapai 130 triliun," sebutnya. "Target 2020 sekitar Rp 170 triliun juga tampaknya bakal tercapai. Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi?"
Sistem yang sudah baik ini, ujar Candra, tak perlu diubah lagi. "Ini sudah mendekati 100 persen kok targetnya, apa masalahnya?" katanya menegaskan.
Candra khawatir jika sistem penarikan cukai yang sudah baik ini diubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan terjadi pengelompokan. Semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, akan dikelompokkan ke dalam grup yang ada di atasnya.
Akibatnya, pabrik rokok kecil harus membayar cukai yang lebih banyak di luar jumlah produksi dan di luar kemampuannya. Hal ini dikhawatirkannya bakal mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil.
"Jika pabrik rokok rakyat menengah dan kecil mati, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau," ujarnya. "Juga menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah, mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok."