Senin 09 Sep 2019 21:11 WIB

Antisipasi Resesi, Sri Mulyani Pastikan APBN Sehat

Pemerintah akan terus mempelajari dan mewaspadai segala ancaman.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Gita Amanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) berdiskusi dengan stafnya di sela rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kiri) berdiskusi dengan stafnya di sela rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memastikan kondisi Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) tetap sehat dan terus ekspansif. Hal itu menyusul adanya potensi resesi terhadap perekonomian nasional berdasarkan riset dari Bank Dunia.

"Kita akan lihat. APBN kita harus sehat," kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Senin (9/9).

Baca Juga

Sri mengatakan, pemerintah akan terus mempelajari dan mewaspadai segala ancaman yang bisa menghantam ekonomi domestik. Hanya saja, soal potensi resesi pihaknya hingga saat ini belum mengetahui bentuk dari resesi yang bisa mengancam Indonesia.

Di sisi lain, pemerintah juga belum dapat menyimpulkan apakah lemahnya pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal I dan II akan berlanjut pada kuartal III dan IV atau tidak. Sri mengatakan, untuk sementara waktu pemerintah akan mengikuti setiap perkembangan yang terjadi secara harian.

"Kita ikuti saja, kita juga harus melihat seperti apa bentuk resesi di negara lain," kata dia.

Menurut Sri, pelemahan ekonom global yang terjadi saat ini memang tidak bisa dihindari. Namun, transmisi pelemahan global ke ekonomi domestik masih harus dipelajari. Salah satu dampak yang kemungkinan besar terlihat yakni terhadap pelemahan eksopr.

Namun, Sri tak menampik pelemaham global terhadap domestik bisa melalui jalur lain. "Ya, kalau antisipasi kita melihat instrumennya. Kita lihat juga alamiahnya seperti apa," kata Sri.

Bank Dunia sebelumnya menilai, aliran dana modal yang keluar dari pasar Indonesia (capital outflow) berpotensi terus meningkat dibanding dengan 10 tahun terakhir. Penyebabnya, perlambatan ekonomi global yang ditambah dengan berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan Cina. Potensi resesi ekonomi AS, perlambatan mesin ekonomi Eropa dan pelemahan di Cina juga menjadi faktor penyebabnya.

"Ini dapat menyebabkan suku bunga acuan Indonesia kembali meningkat dan rupiah terdepresiasi lebih dalam," tulis Bank Dunia.

Ancaman capital outflow semakin urgent mengingat Current Account Deficit (CAD) Indonesia yang sudah mencapai mencapai 8,4 miliar dolar AS per kuartal kedua 2019.

Jumlah tersebut setara dengan tiga persen dari PDB. Bank Dunia memprediksi, CAD Indonesia pada akhir tahun dapat menyentuh 33 miliar dolar AS, naik dibanding dengan tahun lalu, 31 miliar dolar AS. Sedangkan, Foreign Direct Investment (FDI) hanya 22 miliar dolar AS. Penanaman modal Indonesia di luar negeri baru mencapai 5 miliar dolar AS tiap tahun.

Dengan kondisi itu, Bank Dunia mencatat, Indonesia membutuhkan aliran modal masuk (capital inflow) 16 miliar dolar AS per tahun. Nominal itu untuk menutup kesenjangan defisit antara capital outfow dengan capital inflow.

"Pembiayaan lebih akan akan dibutuhkan apabila terjadi lebih banyak capital outflow (dari yang diprediksi)," kata Bank Dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement