REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu melakukan evaluasi kebijakan dan regulasi sektoral yang menghambat investasi di bidang energi, menyusul pernyataan Jokowi yang kecewa investasi yang pindah dari Cina masuk ke Vietnam bukan ke Indonesia.
Fabby menyarankan pemerintahan Jokowi melakukan introspeksi dan evaluasi atas kebijakan dan peraturan di tingkat sektoral yang dibuat beberapa tahun terakhir. Kebijakan itu justru membuat risiko investasi di Indonesia meningkat dan mengakibatkan investor menunda berinvestasi di Indonesia.
Menurut Fabby, minimnya Foreign Direct Investment (FDI) di bidang energi dalam tiga tahun terakhir karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak mempertimbangkan persepsi risiko investor. "Selain itu ada ketidakselarasan antara regulasi teknis dengan kebijakan utama juga membuat investor ragu-ragu," ujar Fabby di Jakarta, Kamis (5/9).
Dalam konteks investasi di sektor energi, lanjut Fabby, sejumlah investor energi terbarukan sebenarnya bersiap berinvestasi di Indonesia pada 2014 hingga 2016. Pada saat itu sejumlah investor melihat peluang investasi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 yang mematok target energi terbarukan 23 persen. Pengalaman Indonesia dengan adanya kebijakan feed in tariff sebelumnya dinilai sebagai faktor positif oleh investor.
Sayangnya, kata Fabby, adanya pergantian Menteri ESDM pada 2016 sebanyak empat kali dan diikuti dengan lahirnya berbagai kebijakan Menteri ESDM yang berkaitan dengan energi terbarukan melalui Permen ESDM No. 10/2017, 12/2017 jo 50/2017, Permen No. 49/2018 dan peraturan lainnya yang bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya, justru mematikan minat investasi dari investor-investor asing dan domestik.
Menurut analisa IESR, peraturan-peraturan ini justru meningkatkan ketidakpastian, menambah risiko, ketidakpastian proses bisnis untuk merealisasikan proyek yang memberikan tingkat pengembalian investasi yang wajar. Serta membuat lembaga keuangan enggan membiayai proyek-proyek tersebut.
"Hasil dari regulasi yang dibuat Menteri ESDM seperti yang kita lihat pertumbuhan jumlah pembangkit energi terbarukan di era 2014-2019 lebih rendah dari periode sebelumnya," lanjutnya.
Itu pun, lanjutnya, berasal dari proyek-proyek yang sudah disiapkan sebelum 2014 dan 2015, yang kemudian berhasil COD dalam 1dan 2 tahun belakangan ini. Sementara itu proyek-proyek baru justru mengalami kendala bankability.
Dengan begitu, kata Fabby, investor-investor yang awalnya melirik Indonesia sejak 2016 menjadi pindah ke Vietnam. Dengan kebijakan dan regulasi yang lebih menarik, Vietnam mengalami booming dalam investasi energi terbarukan. Fabby menilai kualitas kebijakan dan regulasi di Vietnam memberikan kepastian usaha yang lebih baik, proses bisnis yang lebih jelas dan tingkat pengembalian ekonomi proyek yang lebih baik dibandingkan proyek di Indonesia. Menurut Fabby, faktor-faktor ini membuat investor lebih nyaman berinvestasi di Vietnam ketimbang di Indonesia.
Hasilnya, sejak 2017 hingga Juni 2019, energi surya bertumbuh menjadi 4,5 GW. Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Angin (wind power) dari 0 menjadi 228 MW pada akhir 2018. Saat ini pemerintah Vietnam sedang mempersiapkan proyek baru untuk mengejar target kapasitas PLTB menjadi 800 MW pada 2020.
IESR mendesak pemerintah Jokowi melakukan evaluasi yang serius atas kebijakan dan regulasi di bidang energi untuk merevitalisasi minat investor. Khususnya regulasi-regulasi di bidang energi terbarukan.
Hasil perhitungan IESR menunjukkan untuk mencapai target energi terbarukan sebanyak 23 persen dari bauran energi pada 2025, dibutuhkan investasi sebesar 70-120 miliar dolar AS, di mana sekitar 80-85 persen dari kebutuhan investasi ini diperkirakan berasal dari investor swasta domestik dan asing.
"Jika presiden serius menarik investasi energi terbarukan yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dibutuhkan Indonesia saat ini, maka perlu ada upaya untuk merombak total arah kebijakan dan regulasi serta instrumen pendukung untuk energi terbarukan," kata Fabby menambahkan.