Kamis 05 Sep 2019 15:00 WIB

Alasan Pemerintah Ngebet Terapkan B-30

Pengembangan biodiesel harus cepat dilakukan seiring dengan tingginya produksi sawit.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Friska Yolanda
Petugas mengisi bahan bakar B30 ke kendaraan saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas mengisi bahan bakar B30 ke kendaraan saat peluncuran uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus berupaya menerapkan mandatori biodiesel 20 persen (B-20) menjadi 30 persen (B-30) dapat mulai berjalan pada awal 2020. Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna menjelaskan, target dan kebijakan energi nasional pada 2025 diharapkan bisa meningkatkan kontribusi penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) hingga 23 persen.

"Sekarang baru 8,55 persen. Gap masih sangat tinggi, sementara waktunya sudah semakin dekat," ujar Andriah saat sosialisasi perkembangan uji jalan bahan bakar B30 pada kendaraan bermesin diesel di Gedung PPTMGB Lemigas, Kementerian ESDM, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).

Baca Juga

Kata Andriah, pada 2025 ditargetkan penggunaan biofuel atau bahan bakar nabati berada pada kisaran 13,8 juta kiloliter (kl) yang berasal dari biodiesel hingga biotanol. Penggunaan biofuel sampai 2018 baru mencapai 3,75 juta kl dan ditargetkan pada 2019 menjadi 6,2 juta kl hingga 6,6 juta kl.

Mengapa pengembangan biodiesel relatif lebih cepat dibanding bahan bakar nabati lainnya, tak lepas dari besarnya areal lahan dan produksi kelapa sawit di Indonesia. Pada 2018, jumlah produksi minyak sawit mencapai 47,6 juta ton.

"Ini jumlahnya sangat besar dan melebihi target yang sudah direncakan. Jadi kita harus berupaya memanfaatkan minyak sawit tersebut," ucap Andriah. 

Alasan lainnya, besarnya defisit neraca perdagangan akibat tingginya impor BBM. Andriah mencatat, hingga saat ini, Indonesia masih mengimpor 30 persen solar dan 50 persen gasoline. Dengan kehadiran program biodiesel, pemerintah berharap mampu mengurangi angka impor BBM.

"Kenapa terus dorong program biodiesel, ini untuk bisa menstabilkan harga CPO (Crude Palm Oil) atau harga minyak sawit karena ketika suplai besar harga jadi turun," kata Andriah. 

Dari sisi regulasi, Andriah menilai pemerintah sudah menunjukan keseriusannya melalui undang-undang, peraturan menteri, keputusan menteri, dan peraturan direktur jenderal EBTKE, dalam mendorong penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan melalui biofuel. Penerapan biodiesel sudah mulai sejak 2006 dengan program B-2,5 yang terus ditingkatkan menjadi B-7,5, hingga Indonesia sudah mulai mewajibkan pengunaan B-20 pada 2016. Kini, pemerintah ingin B-30 hadir mulai awal 2020.

Menurut Andriah, meski sudah berhasil dengan B-20, pemerintah tetap akan menyesuaikan parameter agar nantinya tidak menjadi masalah dengan mesin yang ada karena pada dasarnya untuk Solar. Oleh karenanya, pemerintah sejak 20 Mei 2019 hingga pertengahan September melakukan uji coba atau uji jalan sejumlah kendaraan penumpang dan niaga dengan bahan bakar B-30. 

"Mau tidak mau, Januari 2020 akan terapkan B-30. Presiden dalam ratas sudah menegaskan di Januari akan diterapkan B-30 dilakukan di semua sektor. Arahan dari Menteri ESDM juga, jadi ada percepatan penyiapan program B30," katanya. 

Sejumlah percepatan persiapan dilakukan pemerintah, mulai dari uji jalan, melakukan road show, dan mendorong kesiapan industri. Andriah memperkirakan untuk menopang program B-30 pada 2020 dibutuhkan sekira 9,6 juta kl yang mana dinilai mampu dipenuhi industri.

"Sistem distribusi harus dipastikan. Ketika jadi B-30, volume yang ditransefer lebih besar, jadi di pelabuhan dan tangki juga harus diperhatikan. Ini tugas kementerian terkait lainnya juga jadi perlu koordinasi," ucapnya. 

Andriah menyampaikan penggunaan B-20 atau B-30 sangat berkontribusi pada sektor penghematan negara. Andriah merinci penggunaan 3,75 juta kl biofuel pada 2018 mampu menghemat hingga Rp 27,2 triliun, sementara penggunaan 6,6 juta kl biofuel pada 2019 diperkirakan mampu menghemat keuangan negara hingga Rp 45 triliun.

"Harapan di 2020, penggunaan biofuel sampai Rp 9,6 juta kl dan bisa menghemat hampir Rp 70 triliun untuk impor BBM," ungkap Andriah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement