Selasa 03 Sep 2019 09:59 WIB

Simplifikasi Cukai Rokok Rugikan Pabrik Kecil

Pabrik rokok rakyat yang kecil diharuskan membayar cukai dua kali lebih tinggi.

Diskusi mengenai simplifikasi cukai rokok.
Diskusi mengenai simplifikasi cukai rokok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pelaku industri rokok yang tergabung dalam Gapero (Gabungan Pabrik Rokok) mengharapkan pemerintah tidak memaksakan penerapan penyederhanaan (simplifikasi) cukai rokok. Alasannya, kebijakan itu bisa membuat monopoli di industri rokok.

Ketua Gabungan Pabrik Rokok Surabaya (Gapero), Sulami Bahar mengatakan penyederhanaan cukai rokok bisa merugikan dan mematikan industri rokok rakyat. Buntutnya, ribuan kesempatan kerja atau ribuan bahkan ratusan ribu anggota masyarakat usia produktif kehilangan kesempatan kerja.

"Simplifikasi juga bisa mematikan ekonomi rakyat sekaligus merugikan pereokonomian daerah," ujar Sulami saat berbicara di sebuah acara diskusi. "Hal ini akan mengakibatkan kondisi ekonomi yang sudah sulit saat ini akan semakin sulit."

Sulami menduga ada pihak yang sengaja mendorong agar kebijakan itu diberlakukan. Mereka tidak menyadari bahwa dalam jangka panjang, kebijakan itu akan menciptakan monopoli industri rokok. Sebab, jika simplifikasi rokok diterapkan, cepat atau lambat akan mematikan pabrik-pabrik rokok skala menengah dan kecil.

"Jika mayoritas pabrik rokok di Indonesia mati, ini akan mengakibatkan terjadinya monopoli," ujarnya menegaskan.

Simplifikasi cukai adalah penyederhanaan penarikan cukai rokok. Semula terdiri dari 10 lier penarikan cukai dibuat menjadi 5 lier. Yang semula terdapat golongan I A dan IB, digabung menjadi Golongan I.

Otomatis, produsen rokok yang semula berada di golongan IB membayar cukai rokok IB ditarik menjadi golongan I dan membayar golongan I. Otomatis bayar cukainya lebih tinggi.

Demikian juga dengan golongan III ditarik menjadi golongan II. Otomatis perusahaan rokok kecil yang semula membayar cukai di golongan III dipaksa ditarik ke atas, membayar cukai golongan II yang lebih tinggi. Dan ini memberatkan pelaku usaha rakyat yang pabrikan kecil, karena diharuskan membayar cukai dua kali lebih tinggi.

Menurut Sulami, dari 10 lier penarikan cukai yang ada saat ini, pemberlakuan PMK 156/2018 relatif lebih baik meski belum ideal dibandingkan jika PMK 146/2017 yang diberlakukan. Dengan demikian, salah jika ada pendapat dari lembaga apapun yang mengatakan penerapan PMK No.156/2018 tidak mencerminkan keadilan. Justru kondisi saat inilah yang mencerminkan keadilan.

Pakar ekonomi makro dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Elan Satriawan mengakui, kondisi ekonomi nasional saat ini sedang tidak baik. Untuk itu, ia berharap kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah harus hati-hati.

Demikian pula dengan implementasi simplifikasi penarikan cukai. Elan meyakini Presiden akan berhati hati dalam mengambil keputusan. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan pastinya sedang melakukan kajian.

Hasil kajian itu semuanya diserahkan Kementerian Keuangan kepada Presiden Jokowi. "Presiden Jokowi lah yang akan memutuskan apakah simplifikasi jadi atau tidak dilakukan," ujar Elan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement