Selasa 03 Sep 2019 06:33 WIB

Pelarangan Ekspor Nikel Ancam Pengusaha Tambang Nasional

Potensi kerugian akibat pelarangan ekspor nikel diperkirakan capai 960 juta dolar AS

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Pengunjung mengamati hasil tambang (smelter) nikel PT COR Industri Indonesia pada acara Sulteng Expo di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/4).
Foto: ANTARA FOTO
Pengunjung mengamati hasil tambang (smelter) nikel PT COR Industri Indonesia pada acara Sulteng Expo di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelarangan ekspor nikel mulai 2020 membuat gundah perusahaan pertambangan nasional yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI). Sekretaris Jenderal APNI Meidy K Lengkey mengatakan kebijakan tersebut akan mematikan pengusaha tambang nikel nasional yang saat ini sedang proses menyelesaikan pembangunan smelter.

Meidy menyebut potensi kerugian yang akan ditanggung pelaku smelter nasional yang sedang membangun 16 unit smelter diperkirakan sebesar 960 juta dolar AS, sedangkan potensi kehilangan penerimaan negara atau devisa atas terhentinya pembangunan 16 smelter tersebut setelah 2022 sebesar 261.273.600 dolar AS per tahun dari output produk smelter berupa NPI/FeNi. Pun potensi kehilangan pendapatan devisa dari ekspor bijih nikel sampai 2022 sebesar  259.796.823 dolar AS.

Baca Juga

"Pada kondisi saat ini pun, para pelaku usaha tambang nikel domestik sudah merasa kalah oleh pengaturan kadar dari pengusaha smelter yang sudah berdiri di Indonesia, sebab mereka tidak menggunakan surveyor yang direkomendasikan pemerintah, tetapi menggunakan surveyor dari pihak mereka," ujar Meidy di Jakarta, Senin (2/9).

Kata Meidy, perbandingan harga lokal dengan harga ekspor juga menjadi persoalan tersendiri. Selisih antara keduanya bisa mencapai 20 dolar AS per ton, yang seharusnya bisa menjadi keuntungan pengusaha tambang nikel untuk meningkatkan investasinya termasuk dalam pembangunan smelter.

Meidy menyampaikan saat ini juga terjadi kecemburuan yang tinggi bagi para pelaku usaha nikel nasional dengan smelter asing, di mana bagi pengusaha smelter nasional di wajibkan royalti 4 persen dari output produk FeNI/NPI (Perpres No 9 Tahun 2012), sedangkan bagi smelter asing dengan izin yang dikeluarkan oleh kementerian perindustrian (IUI) tidak dibebankan kewajiban royalti.

"Begitu banyaknya fasiltas kemudahan yang diberikan kepada smelter asing yang tidak didapat oleh pengusaha nasional," ucap Meidy.

Meidy berpandangan apabila pelarangan ekspor bijih nikel berlaku pada tahun ini, sedangkan ketentuan tata niaga dan penetapan harga bijih nikel domestik belum ditentukan, bisa dipastikan akan banyak IUP yang dimiliki oleh pengusaha nasional akan dijual ke pihak asing yang telah memiliki smelter.

"Untuk itu, kami berharap DPR RI dapat mengeluarkan kebijakan tentang kepastian harga dan regulasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman baku bagi para pelaku usaha tambang nikel nasional," kata Meidy menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement