Rabu 28 Aug 2019 15:01 WIB

Berbahaya Bagi Rupiah, BI Antisipasi Depresiasi Yuan

Nilai tukar rupiah sulit untuk menguat hingga ke bawah Rp 14 ribu per dolar AS.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Mata uang Rupiah.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Mata uang Rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebut depresiasi mata uang Yuan akibat perang dagang antara AS dan Cina akan berdampak pada depresiasi mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pergerakan mata uang yuan sebagai simbol negara berkembang akan dipantau ketat demi meminimalisasi dampak lanjutan terhadap rupiah.

"Depresiasi yuan akan mendorong mata uang negara berkembang lainnya juga terdepresiasi. Peran BI bagaimana kita menjaga market agar ini jangan sampai terjadi," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti di Jakarta, Rabu (28/8).

Baca Juga

Destry mengatakan, kondisi ekonomi makro di tengah situasi global yang tertekan harus dijaga agar tetap stabil. Stabilitas laju inflasi serta keseimbangan fiskal harus terjaga dan terus memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, ia meminta kepada semua pihak untuk percaya terhadap prospek ekonomi domestik ke depan.

Meski demikian, ia mengaku nilai tukar rupiah untuk saat ini akan sulit untuk menguat hingga ke bawah Rp 14 ribu per dolar AS. Sebab, situasi global saat ini belum mendukung rupiah untuk melakukan penguatan signifikan. Karena itu, BI cenderung lebih fokus untuk menjaga volatilitas rupiah di pasar uang.

Pergerakan nilai rupiah di level Rp 14 ribu-Rp 14.200 saat ini dinilai akibat dampak dari perang dagang. Namun, semua negara mengalami hal yang sama karena pelemahan mata uang terjadi pada semua negara.

Oleh sebab itu, depresiasi mata uang Yuan harus diantisipasi agar tidak menambah pelemahan mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. "Tentunya rupiah akan sulit menguat ke bawah Rp 14 ribu karena global seperti itu. Tapi setidaknya kita bergerak bersama negara-negara lain dengan volatilitas yang lebih terjaga," ujar dia.

Destry menambahkan, Indonesia sementara ini masih cukup kuat terhadap tekanan global akibat perang dagang. Sebab, ekonomi domestik memiliki keunggulan dari kuatnya konsumsi domestik. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang mengandalkan penuh ekspor-impor, Indonesia punya ketahanan domestik dari sisi konsumsi masyarakat dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement