Senin 26 Aug 2019 18:32 WIB

Pemangkasan Impor Bibit Ayam Belum Diputuskan

Tren penurunan kebutuhan dan konsumsi ayam sudah mulai dirasakan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
DOC atau bibit anak ayam (ilustrasi)
Foto: Wikipedia
DOC atau bibit anak ayam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah belum dapat memutuskan pemangkasan impor bibit indukan ayam atau day old chicken (DOC) grand parent stock (GPS) tahun ini. Sedangkan tahun ini diketahui, kajian kuota impor DOC GPS sebesar 787 ribu ekor belum tentu final.

Direktur Perbibitan dan Produksi Kementerian Pertanian (Kementan) Sugiono mengatakan, pemerintah belum dapat mengambil keputusan untuk memangkas kuota impor tersebut. Sedangkan terkait dengan usulan dari peternak kepada pemerintah terhadap realisasi pemangkasan tersebut, pihaknya juga enggan berkomentar.

Baca Juga

“Kami bukan mengurangi (impor), ini masih dihitung,” ujarnya singkat kepada wartawan, di Kementan, Jakarta, Senin (26/8).

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami menyatakan, terdapat dua kemungkinan yang menyebabkan kondisi harga ayam di Indonesia kerap bergejolak. Permasalahan pertama dinilai terjadi akibat kelebihan produksi DOC, sedangkan sebab kedua adalah karena kondisi perlambatan ekonomi nasional yang lemah dan berdampak dalam penurunan tingkat kebutuhan serta konsumsi.

Menurutnya, kesadaran masyarakat terhadap konsumsi ayam perlu digalakkan kembali. Untuk itu dia meminta kepada pemerintah agar melakukan promosi yang efektif agar masyarakat mau meningkatkan konsumsi unggasnya.

“Dukungan promosinya kan tidak perlu melalui fisik saja, sosialisasi juga penting. Misalnya dikatakan bahwa protein hewani ini mampu mencerdaskan dan lain sebagainya, bisa digalakkan," ujarnya.

Dalam tahun ini saja, menurut dia, tren penurunan kebutuhan dan konsumsi ayam sudah mulai dirasakan. Tahun ini dinilai menjadi tahun terparah penurunan kebutuhan ayam jika dibandingkan dengan tahun kemarin, meski secara akurasi datanya masih terus disempurnakan dan dicari.

Berdasarkan catatannya, konsumsi ayam mengambil proporsi sebesar 65 persen dari total konsumsi protein keseluruhan hewani. Sedangkan, kata dia, setiap income per kapita rata-rata di wilayah berkembang perkiraan kenaikan konsumsinya hanya 2 persen. Artinya, tingkat konsumsi masih sangat rendah.

Sebelumnya diketahui, kondisi peternakan ayam di Indonesia mengalami imbas produksi dua tahun lalu. Di mana realisasi impor dinilai sejumlah kalangan tak sesuai dengan jumlah kebutuhan di dalam negeri. Hal itu berujung pada anjloknya harga ayam yang berujung pada penurunan kebutuhan.

Saat ini menurut dia, total kebutuhan DOC per bulan berkisar 58-60 juta ekor. Untuk itu setiap pekan terjadi kelebihan produksi sebesar 3 juta ekor. Pihaknya menyarankan kepada pemerintah untuk memangkas impor DOC dari target yang ditetapkan tahun ini.

“Sekarang realisasi impornya sampai Agustus kan 400 ribu ton, kita minta nanti dikurangi dari target. Peternak usulkannya iru jangan lebih dari 720 ribu ekor,” ujarnya.

Di sisi lain para perusahaan peternak terintegrasi (interator) agar ke depannya terdapat integrasi antara integrator dengan peternak mandiri. Di negara-negara produsen ayam dunia, pola integrasi sudah mulai diterapkan karena dapat menghasilkan produksi yang efisien.

Apabila integrasi dilakukan, maka sarana dan prasarana peternakan seperti feedmill, breeding farm, serta farm komersil sudah dimiliki sendiri. Sehingga ke depannya bentuk kemitraan antara peternak mandiri dengan integrator dapat menghasilkan add value-nya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi mengusulkan kepada pemerintah untuk memperbaiki data supply-demand. Validitas data tersebut dinilai penting dalam menyusun kebijakan dan perencanaan yang akan dilangsungkan ke depan.

“Data penting, transparansi data. Sehingga nanti kita bisa tahu impor itu butuhnya berapa,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement