Jumat 23 Aug 2019 08:20 WIB

Afrika Pasar Ekspor Potensial Bagi RI

Afrika sedang membutuhkan produk-produk kebutuhan dasar.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Satria K Yudha
Pekerja mengangkut karung biji kopi (green been) asal Gunung Puntang ke dalam truk kontainer untuk diekspor ke Maroko, Afrika Utara, di Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Rabu (22/6). (Republika/Umar Mukhtar)
Foto: Republika/Umar Mukhtar
Pekerja mengangkut karung biji kopi (green been) asal Gunung Puntang ke dalam truk kontainer untuk diekspor ke Maroko, Afrika Utara, di Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Rabu (22/6). (Republika/Umar Mukhtar)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Proses perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Mozambik serta pertemuan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dengan sejumlah menteri dari negara-negara lainnya di Afrika telah dilangsungkan di Bali, Rabu (21/8). Penjajakan pasar Afrika ini dinilai bakal efektif mendongkrak neraca perdagangan Indonesia. 

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengakui, langkah pemerintah Indonesia yang intensif membuka pasar Afrika memang sudah mulai terlihat hasilnya. Menurut dia, langkah tersebut perlu dilakukan guna meningkatkan ekspor dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Jadi sangat perlu untuk meningkatkan ekspor, khususnya ke berbagai daerah atau negara yang selama ini belum kita optimalkan pasarnya ke sana,” ujar Heri, Kamis (22/8).

Heri menyebutkan bahwa potensi pasar Afrika sangat besar. Hal itu disebabkan bahwa negara-negara di kawasan tersebut sedang berproses menjadi negara lower middle income dari sebelumnya sebagai negara dengan lower income. Sehingga, kata dia, Afrika sedang membutuhkan produk-produk kebutuhan dasar seperti pakaian, pangan, dan obat-obatan.

 

“Itu (produk yang dibutuhkan Afrika)  kita bisa bikin semua. Artinya, ada kecocokan, mereka butuh apa, kita bisa produksi,” ujar Heri.

 

Kendati demikian, Heri mengingatkan, pemerintah Indonesia harus lebih cerdik dalam memproses perjanjian dagang dengan negara-negara tujuan ekspor nontradisional Indonesia tersebut. Salah satunya dengan melobi negara mitra dagang agar dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan sebanyak-banyaknya tarif dagang. 

 

Jika produk Indonesia terbebas dari berbagai hambatan dagang seperti tarif maupun non-tarif, keberadaan produk Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan produk negara lain yang juga diekspor ke Afrika.

 

“Kita berdagang di salah satu negara tujuan, tentu kita punya saingan sehingga produk kita harus lebih kompetitif dibanding saingan-saingan kita, sebut saja ada Cina dan Vietnam,” ucap Heri.

Pengamat perdagangan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menyampaikan, berdasarkan kajian pemetaan mitra dagang nontradisional yang dibuat oleh  Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi UI (FEUI) tiga tahun lalu, pasar Afrika termasuk negara yang terhitung sangat potensial. Temuan itu dibuktikan dari kalkulasi pertumbuhan ekonomi Afrika yang telah menunjukan peningkatan signifikan, yang bahkan melebihi pertumbuhan ekonomi dunia. 

“Daerah-daerah seperti Ethiopia, Somalia, Rwanda yang dulu relatif tertinggal, justru sekarang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi dan bahkan berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia bahkan Asia,” ujarnya. 

Indonesia mulai menjajaki pasar Afrika lewat Konferensi Tingkat Tinggi Indian-Ocean Rim Association (IORA) pada Maret 2017. Hasil perjanjian kerja sama perdagangan dari IORA pun mulai terlihat, khususnya terkait perdagangan bilateral dengan  Mozambik. Pasalnya, proses perundingan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dan Mozambik telah menemui kesepakatan kedua belah pihak. Hasil perundingan pun siap ditandatangani menteri perdagangan kedua negara dalam waktu dekat. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement