Jumat 16 Aug 2019 13:26 WIB

Ekonom: Biaya Produksi Ayam Lokal Mahal

Biaya produksi ayam lokal dua kali lipat dibandingkan Brasil.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Warga berbelanja daging ayam pada hari pertama perayaan tradisi meugang menyambut Idul Adha 1440 Hijriyah di pasar tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Jumat (9/8/2019).
Foto: Antara/Ampelsa
Warga berbelanja daging ayam pada hari pertama perayaan tradisi meugang menyambut Idul Adha 1440 Hijriyah di pasar tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Jumat (9/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dibukanya keran impor daging ayam asal Brasil perlu diantisipasi pemerintah. Salah satu antisipasinya adalah dengan memperkuat rantai produksi yang efisien dan kompetitif, sebab sejauh ini ongkos produksi ayam lokal jauh lebih mahal dibandingkan di Brasil.

Ekonom dari Institute dor Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyampaikan, biaya produksi ayam lokal lebih mahal dua kali lipat jika dibandingkan dengan biaya produksi ayam Brasil. Di Brasil, kata dia, biaya produksi hanya menyentuh level Rp 9.400 per kilogram (kg), sedangkan di Indonesia masih Rp 18 ribuan.

Baca Juga

“Jadi masih jauh lebih tinggi (ongkos produksi) di Indonesia, dua kali lipat,” kata Rusli saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (16/8).

Belum lagi, kata Rusli, harga jual daging ayam di Indonesia pun tinggi. Dia mencontohkan, harga daging ayam di Jakarta saja saat ini dalam bentuk ayam sembelih berada di kisaran harga Rp 37 ribuan. Untuk itu, kata dia, pemerintah perlu memperhatikan efisiensi ongkos produksi.

Berdasarkan catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga daging ayam ras segar berada di kisaran harga Rp 23.300-Rp 39.250 per kg. Tercatat, harga terendah mayoritasnya tersebar di sejumlah wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Sedangkan di sejumlah wilayah timur Indonesia, harga daging ayam ras segar cenderung tinggi merata.

Sebagai catatan, Brasil memenangkan sengketa dagang kebijakan impor Indonesia di World Trade Organisation (WTO) baru-baru ini. Kemenangan tersebut bermula pada 2014 di mana Brasil melaporkan kebijakan impor Indonesia di WTO, dan pada 2017 Brasil memenangkannya. 

Sehingga mau tidak mau Indonesia perlu membuka keran impor ayamnya. Karena tak kunjung dibuka, persoalan ini kembali diseret di 2019 sehingga pemerintah pada akhirnya membuka keran impor tersebut. Sikap terdesak ini dinilai Rusli perlu dijadikan pelajaran bagi pemerintah dalam menyikapi iklim perdagangan internasional, salah satunya dengan menyiapkan sisi penguatan produksi dalam negeri.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Gabungan Asosiasi Pengusaha Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi menyebutkan, saat ini produksi ayam nasional sudah berlebih atau oversupply. Berdasarkan catatannya, terdapat produksi anak ayam lokal sebesar 62 juta ekor per minggu sedangkan kebutuhan konsumsi hanya sebesar 56 juta ton per minggu.

Dengan realita tersebut, pihaknya menolak tegas kebijakan impor ayam Brasil digulirkan karena bakal menggerus pendapatan peternak lokal. Sedangkan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan, pihaknya justru bakal mengekspor ayam lokal yang dinilai surplus. Tak hanya itu, Amran juga mengklaim harga ayam lokal cukup kompetitif bersaing di kancah global.

Meski tak menjelaskan secara detail ongkos produksi ayam lokal, Amran mengklaim harga produksi sudah cukup ditekan sehingga peternak sudah dapat untung. 

“Peternak sudah dapat untung, kita ekspor,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement