Jumat 09 Aug 2019 05:42 WIB

Peternakan Ayam Lokal Perlu Dibentengi Regulasi Halal

Penjualan daging ayam harus mengacu pada standar halal yang diterapkan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Daging ayam (ayam potong)
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Daging ayam (ayam potong)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dibukanya keran impor ayam Brasil patut dijadikan peringatan serius bagi pemerintah. Karena selain status kehalalan ayam impor itu perlu dipastikan, pemerintah juga perlu membentengi peternakan lokal dengan regulasi halal.

Kepala Pusat Halal Science Center (HSC) Institute Pertanian Bogor (IPB) Khaswar Syamsu mengatakan, tak mungkin bagi Indonesia melarang masuknya daging ayam asal Brasil. Tetapi, Indonesia dinilai punya hak untuk menentukan produk daging ayam mana saja yang layak masuk. Salah satu yang boleh masuk adalah yang tersertifikasi halal yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Baca Juga

“Setahu saya Brasil ada lembaga sertifikasi halalnya, itu kerja sama dengan MUI, ada. Tapi harus dipastikan, ayamnya disertifikasi dari lembaga itu atau bukan,” kata Khaswar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/8).

Namun apabila ayam impor Brasil yang masuk bukan dari lembaga yang tersertifikasi secara bersama, menurut dia Indonesia secara politik tidak dapat menolak apalagi melarang. Kendati demikian masyarakat Indonesia berhak untuk tidak membeli produk tersebut, terutama bagi masyarakat Muslim yang diwajibkan untuk mengkonsumsi produk-produk halal dalam agama.

Dia menyebut, apabila ayam impor Brasil yang tak tersertifikasi halal itu tetap masuk ke pasar ritel dan tradisional, maka akan ada perlakuan berbeda dari konsumen. Di pasar ritel, kata dia, umumnya produk daging ayam yang dijual mengacu pada standar halal yang ditetapkan pemerintah sehingga musykil kemungkinan ada ayam impor tak halal masuk ke sana.

Hal berbeda justru bisa terjadi di pasar tradisional. Di mana produk daging ayam pada umumnya tidak diharuskan menunjukkan sertifikat halalnya ketika dijual. Artinya, akan ada kecenderungan bagi konsumen yang menginginkan produk halal akan berbondong-bondong ke pasar ritel.

“Jadi ini seperti pisau bermata dua, pasar tradisional bisa terimbas,” kata dia.

Dia menilai, pada aspek ini pemerintah harus lebih teliti dalam mengambil langkah dalam menghadapi Brasil dengan menguatkan produksi di dalam negeri. Menurutnya apabila produksi ayam dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan baik secara harga dan kualitas, kebijakan impor ayam tak akan terealisasi dan Indonesia tak akan menyalahi aturan WTO. 

Di sisi lain, dia menegaskan, harusnya pemerintah juga menerapkan standarisasi halal di sektor peternakan. Hal itu guna memberikan daya saing dan daya dukung sektor peternakan secara mandiri mampu menyuplai pasarnya sendiri. 

“Dari hulu (peternakan) harus dilindungi dengan regulasi halal,” kata dia.

Dia juga mendorong kepada pemerintah untuk menekan biaya produksi ayam peternak lokal. Penekanan biaya produksi itu dapat berupa insentif pengurangan biaya pakan atau sarana produksi peternakan (sapornak) lainnya. Sebab menurut dia, Brasil sebagai negara yang berjarak geografis cukup jauh dari Indonesia, cukup berani melakukan ekspor produk ayamnya bukan tanpa alasan.

“Kalau jauh begitu, kan ada biaya transportasi. Tapi mereka berani masuk, artinya apa? Biaya produksi mereka murah,” ujarnya.

Sayangnya, terkait dengan langkah dan antisipasi pemerintah dalam memperkuat sisi produksi dengan jaminan regulasi dan standarisasi halal, Kementerian Pertanian (Kementan) belum dapat merespons Republika. Hanya saja pada, Rabu (7/8) kemarin, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita hanya menegaskan pemerintah akan mengikuti aturan yang ditetapkan WTO.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan Muhri memastikan pemerintah akan mempertimbangkan kesehatan dan kehalalan produk daging ayam impor Brasil sesuai dengan standarisasi yang berlaku di Indonesia. 

“(Daging ayam impor) yang masuk mutlak halal, sudah pasti itu. Karena kan halal itu legal dan dibolehkan oleh WTO (World Trade Organisation),” kata Kasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement